Halaman

Rabu, 26 Desember 2018

MAKALAH SISTEM HUKUM DI INDONESIA


MAKALAH SISTEM HUKUM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Maksud Dan Tujuan Penulisan
Adapun alasan yang membuat penulis mengangkat inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia sebagai judul makalah karena hukum dimata masyarakat saat ini mengalami krisis kredibilitas. Dimana terungkapnya banyak kasus kecurangan dalam penegakan hukum di Indonesia mengarahkan masyarakat berpikir kepada bahwa hukum hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum. Karena hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di
Indonesia. Untuk itu dalam pembuatan makalah ini akan membahas masalah inkosistensi penegakan hukum di Indonesia, faktor – faktor yang mempengaruhinya serta upaya untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
B. Latar Belakang Masalah
Didalam sistem pergaulan hidup, secara prinsip manusia itu diciptakan bebas dan sederajat. Akan tetapi dengan kebebasan tersebut manusia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya terhadap manusia lainnya, karena ada batasan – batasan yang tidak boleh dilanggarnya berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Pada dasarnya masing – masing anggota masyarakat sudah tentu mempunyai kepentingan yang kadang – kadang sama dan sering pula berbeda. Perbedaan kepentingan ini selanjutnya dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat apabila tidak ada aturan yang dapat menyeimbangkannya. Demi tertib dan teraturnya kelompok masyarakat diperlukan adanya aturan, mulanya disebut kaidah. Jadi dapatlah dikatakan bahwa apa yang disebut kaidah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berkeprikelakuan atau bersikap tindak dalam hidup.
Masyarakat dalam pertumbuhannya selalu berkembang, dimulai dari keluarga sebagai masyarakat yang paling kecil atau masyarakat sederhana kemudian berkembang menjadi semakin kompleks atau masyarakat modern. Perkembangan masyarakat tadi pasti dibarengi dengan timbulnya hukum untuk mengatur dan mempertahankan sistem pergaulan hidup anggota – anggotanya. Keberadaan hukum didalamnya adalah sebagai peraturan yang bersifat umum dimana seseorang atau kelompok secara keseluruhan ditentukan batas – batas hak dan kewajibannya. Mengacu kepada hak dan kewajiban, maka aturan yang paling tepat adalah apa yang dinamakan hukum. Demikian dapat diketahui bahwa hukum dapat mengatur segala kepentingan manusia mulai dari jabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya sampai seorang ibu itu meninggal dunia. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk
penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.
 Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Adanya ketimpangan pelaksanaan hukum tersebut maka timbullah pemasalahan hukum di Indonesia.
 Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari system peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsisten penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara banyak permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri , keluarga maupun lingkungan terdekatnya yang lain. Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula kita temui dalam media elektronik maupun cetak yang menyangkut tokoh – tokoh masyarakat seperti, pejabat, orang kaya dan lain sebagainya.
Akibat yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif atau yang disebut inkonsistensi penegakan hukum adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada. Merangkum fenomena diatas, dimana penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik dan efektif tentunya menjadi pemasalahan yang sangat serius, dimana pada pembahasanberikutnya akan lebih dijelaskan faktor apa saja yang menyebabkan inkonsistensi penegakan hukum, akibat yang ditimbulkan dari inkonsistensi penegakan hukum, serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi atau menekan seminimal mungkin terjadinya inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.








BAB II
PERMASALAHAN
Cita – cita reformasi untuk mendudukan hukum ditempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan – angan. Bila dicermati suramnya wajah hokum merupakan akibat dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang dalam keadaan terhenti dan kalaupun hukum ditegaskan maka penegakannya diskriminatif. Praktik – praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, bahkan kolusi polisi, hakim, advokat dan jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari – hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini.
 Pelaksanaan penegakan hukum yang 'kumuh' sepeti itu menjadikan hukum dinegeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427 – 347 SM) yang menyatakan bahwa ''hukum adalah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat''. Sehingga memberikan pertanyaan di benak kita apa yang terjadi di sektor penegakan hukum? Dan ada apa dengan aparat penegak hukum?. Diberbagai kasus ditingkat pejabat sampai rakyat semuanya mengacu pada keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk kalangan yang berduit, yang tidak mempunyai uang tidak mempunyai hak atas hukum walaupun dia benar.
 Kalau dilihat dari struktur negara kita, Indonesia adalah negara hukum tapi kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak kita. Krisis penegakan hukum telah menjamur di negeri ini. Mungkin ironis sekali jika hal ini menjadikan negara kita sebagai Negara hukum namun miskin hukum.Bagi mereka yang mengantongi banyak rupiah, hukum seolah tidak berani menyentuh. Namun bagi mereka yang miskin, hukum seperti tidak mau berkompromi. Terkuaknya kasus – kasus besar pelanggaran hukum di tanah air akhir – akhir ini sungguh merisaukan dan dan mengusik rasa keadilan bagi siapa saja yang waras. Kasus century, rusaknya perlakuan sistem rumah tahanan, makelar kasus (markus), suap – menyuap, hingga pembunuhan yang berbau politisi menunjukkan ada yang tidak beres pada penegakan hukum di Indonesia. Dari sekian banyak kasus itu, mencuat kasus – kasus korupsi yang sering melatar belakanginya. Padahal kita semua tahu, hukum adalah salah satu instrumen paling vital dalam membangun sebuah bangsa menuju peradaban kemanusiaan yang adil. Kecenderungan manusia yang selalu ingin menang sendiri, egois, dan individualis.
 Jika tidak ada hukum yang mengaturnya, maka akan melahirkan penindasan dan perbudakan modern ditengah masyarakat. Untuk itulah negara kita menciptakan undang – undang. Tapi sayangnya, undang – undang yang dipakai sebagai hukum belum mampu membersihkan koruptor – koruptor dilembaga pemerintah. Sampai saat ini masih banyak koruptor yang begitu asyiknya melenggang dan menertawai negeri yang banyak dihuni oleh orang – orang miskin ini. Tercatat, negara ini menempati peringkat kedua dalam hal korupsi di tingkat Asia dan peringkat keenam ditingkat dunia. Sebetulnya ada satu persoalan yang sangat krusial dilembaga hukum kita. Persoalan itu berupa lemahnya integritas para penegak hukum yang mudah dibeli oleh para mafia hukum dan para koruptor. Semua itu bisa juga terlihat pada munculnya kasus antara lembaga independen KPK dan Polri tempo hari. Bagi mereka yang mengantongi banyak rupiah, hukum tentu tidak akan berani menyentuh, sebaliknya bagi mereka yang miskin dan banyak dibelit persoalan ekonomi, hukum seperti tidak mau lagi berkompromi sedikit pun.
Drs. IGM. Nurdjana, SH, MH menjelaskan, pertama lemahnya integritas penegakan hukum korupsi dipengaruhi oleh problematik dalam sistem hukum pidana sebagai hukum formal dan hukum materiil yang secara substansi hukum pada peraturan perundang – undangan pidana potensi korupsi. Kedua, secara struktur hukum atau kelembagaan terdapat overlapping kewenangan dan mengabaikan asas diferensial fungsional dalam bentuk konflik. Ketiga, adanya disharmoni atau rivalitas negatif antara Polri, Jaksa dan KPK serta dilema terbentuknya hakim adhoc. Terakhir, terjadinya kesenjangan dan keterbatasan anggaran sarana dan prasarana sehingga secara cultural hukum menjadi cara dinamis untuk dimanfaatkan sebagai alat pemerkaya diri.
Persoalan itu yang membuat para koruptor berteriak kegirangan. Mereka berusaha memanfaatkan kesempatan bagus tersebut sebagai alat dalam mempertahankan dirinya dari jeratan hukum. Hasilnya, vonis hakim terhadap koruptor tersebut banyak yang hasil akhirnya bebas. Selama ini, koruptor yang tertangkap oleh tangan hukum seperti begitu mudah melepaskan diri. Belum pernah tersiar kabar seorang koruptor divonis hukuman seumur hidup atau vonis mati. Karena itu wajar bila korupsi terus meningkat, sebab tidak ada vonis hakim yang dapat membuat koruptor jera. Penjara bagi mereka bukan lagi suatu ancaman karena dengan banyak uang, penjara dapat disulap menjadi seperti layaknya hotel berbintang. Itulah gambaran penegakan hukum dinegeri ini. Padahal telah jelas, unsur – unsur korupsi adalah tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan dilakukan oleh pejabat public atau penyelenggara negara maupun masyarakat. Hal tersebut menjadi polemik dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat.
 Salah satu kecenderungan yang menonjol adalah menguatnya perhatian dan penilaian publik terhadap suatu proses hukum yang dinilai kurang adil. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu solusi yang bijaksana agar penegakan hukum dinegeri ini memiliki integritas yang kuat dan profesionalitas yang tinggi. Dan solusi seperti apakah yang dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum?.




BAB III
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hukum Modern
Negara modern mempunyai arti sebagai suatu institusi yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan struktur penataan yang rasional, dimana salah satu perkembangan penting yang pertama adalah terjadinya sentralisasi kekuasaan dengan menghancurkan otonomi dari komunitas-komunitas lokal pada masa pra negara modern.Konsep kedaulatan negara yang muncul berbarengan dengan perkembangan tersebut tidak menghendaki untuk bersikap toleran terhadap komunitas lokal yang asli. Kedaulatan negara tidak membiarkan adanya kekuasaan lain dalam wilayahnya. Sejak saat itu, institusi publik pertama harus diakaitkan dengan kepala negara. Oleh karena itu, hukum yang ada adalah merupakan suatu hukum negara.
Negara modern melahirkan suatu kehidupan dan tatanan dengan struktur yang rigid yang belum dikenal sebelumnya dalam sejarah perkembangan manusia. Strukturalisasi rasional yang mendasar adalah diadakannya pembagian ke dalam kelompok eksekutif, legislatif dan yudikatif. Negara Indonesia sejak memerdekaan diri pada tanggal 17 Agustus 1945 dari penjajahan sudah menyatakan diri sebagai negara hukum. Hal itu bisa dilihat di dalam isi pembukaan UUD 1945, dan juga Indonesia termasuk negara hukum modern.
Pertanyaan di atas bisa kita jawab dengan kita terlebih dahulu melihat ciri-ciri negara hukum modern. Ciri-ciri negara hukum modern adalah sebagai berikut:
1. Welfare State (mengutamakan kepentingan seluruh rakyat).
2. Semua sama di depan hukum.
3. Negara ikut campur dalam semua lapangan kehidupan masyarakat.
4. Ekonomi liberal diganti oleh system yang dipimpin oleh pemerintah pusat.
5. Bestuur Szrong (menyelenggarakan kesejahteraan).
6. Menjaga keamanan dalam arti luas, yaitu keamanan social dari seluruh lapangan masyarakat.
Negara Indonesia selalu turut serta ikut campur dalam semua kehidupan masyarakat, mulai dari masalah perceraian, pembunuhan sampai korupsi dan teroris. Pemerintah Indonesia juga selalu mengontrol supaya semua kegiatan masyarakat tetap berjalan serasi, selaras dan seimbang sehingga setiap masyarakat merasa aman dan nyaman tinggal di Indonesia.
Dari segi perekonomian, pemerintah Indonesia tidak mau melepas secara leluasa Indonesia ke pasar bebas, karena hal itu akan berdampak buruk bagi masyrakat kecil dan bawah. Pemerintah masih memegang kendali dalam urusan perekonomian dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi masyarakat Indonesia.
Negara Indonesia sebagai negara hukum modern juga bisa dilihat dari bagaimana pemerintah Indonesia selalu berusaha menjaga kesetabilan di dalam masyarakat. Penegakan keadilan diperjuangkan oleh pemerintah untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa memandang bulu.
Indonesia bisa disebut negara hukum modern bisa dilihat dari bagaimana di Indonesia itu menganut trias plitica. Trias polica merupakan sebuah system pembagian kekuasaan ke eskutif, legislative dan yudikatif. Jadi untuk masalah hukum atau peradilan ditangani oleh yudikatif, misalanya oleh kejaksaan, KPK, MA dan lainnya. Sekali lagi saya tegaskan Indonesia adalah negara hukum modern.
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu Peraturan Undang-Undang dan membuat Undang-Undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu, bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).
• Supremasi Hukum (Supremacy of Law) :
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
• Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law) :
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik.
• Asas Legalitas (Due Process of Law) :
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.
Contoh kasus yang terjadi di hukum modern yaitu sebagai contoh beberapa pemuda yang sedang melakukan kegiatan olahraga sepak bola. Setelah selesai dengan kegiatanya para pemuda tersebut istirahat sejenak melepas lelah dengan membayangkan sesuatu yang dapat menyegarkan dan enak. Lalu terfikirlah untuk mencari tebu di lahan milik pabrik gula, karena lahannya yang luas dan tebunya yang melimpah para pemuda tersebut tidak ambil pusing dengan niatnya tersebut . Dengan bersemangat para pemuda tersebut mencari tebu tersebut bertujuan untuk menyegarkan tenggorokan setelah selesai berolah raga. Namun di tengah pencariannya para pemuda tersebut di pergoki oleh mandor lahan tebu tersebut, padahal para pemuda tersebut hanya mengambil tidak lebih dari 10 lonjor tebu. Namun para pemuda tersebut tetap di tangkap oleh mandor tersebut dengan tuduhan pencurian. Lalu dibawalah pemuda tersebut ke kantor polisi untuk di proses lebih lanjut. Para pemuda tersebut dikenai tindak pidana dengan tuduhan pencurian dan di kenai sangsi penjara selama 7 bulan dan wajib lapor selama satu tahun.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa hukum modern memang sangat efektif dalam pelaksanaan peraturannya, Namun kadang terkesan tidak adil. karena kadang untuk kasus besar yang terjadi, seperti korupsi uang Negara, suap, bahkan pengedar narkoba, apabila pelakunya seorang yang penting (berperan) maka hukuman yang diterima tidak terlalu berat bahkan hanya dikenai sangsi wajib lapor saja. Namun untuk para pelaku yang hanya orang awam (orang menengah kebawah) hukuman yang di berikan oleh hukum modern lebih tegas. Padahal biasanya pelaku yang berasal dari masyarakat awam hanya mengurangi sangat sedikit dari suatu kekayaan objek tertentu. Yang seperti itu adalah sebuah tindakan yang sangat mendiskrimasi orang awam.
Pembentukan sebuah Negara yang menggunakan hukum modern haruslah diikuti dengah penegak hukum yang modern pula. Modern dengan arti melakukan apa yang saat ini di lakukan dan menerapkan apa yang saat ini diterapkan. Agar terciptalah sebuah Negara yang benar-benar menggunakan hukum modern yang baik, tepat, dan menerapkan bahwa semua warga Negara sama di hadapan hukum. Tidak ada diskriminasi maupun kencenderungan untuk membela siapa yang beruang.
Menurut Drs. Satjipto Rahardjo, SH, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan prosedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi substansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata – mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.
 Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH , progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selama ini terjadi dinegara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berpikir jernih dan berkesinambungan tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu – satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia. Soekanto 1979, secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang terjabarkan didalam kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor – faktor tersebut.
Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang – undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh – contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang – undang
Undang – undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah (Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979). Mengenai berlakunya undang – undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang – undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
     Asas – asas tersebut antara lain:
a) Undang – undang tidak berlaku surut.
b) Undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi.
c) Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
d) Undang – undang yang bersifat khusus menyampingkan undang – undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
e) Undang – undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang – undang yang berlaku terdahulu.
f) Undang – undang tidak dapat diganggu gugat.
g) Undang – undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan
(inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan – kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum. Halangan – halangan tersebut, adalah:
a) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
b) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
c) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
d) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
e) Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Halangan – halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap – sikap sebagai berikut:
a) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
b) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
c) Peka terhadap masalah – masalah yang terjadi disekitarnya.
d) Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
e) Orientasi kemasa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
f) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
g) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
h) Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi didalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
i) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan pihak lain.
j) Berpegang teguh pada keputusan – keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hokum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut:
a) Yang tidak ada, diadakan yang baru.
b) Yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan.
c) Yang kurang, ditambah.
d) Yang macet, dilancarkan.
e) Yang mundur atau merosot, dimajukan atau ditingkatkan
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan engidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai – nilai yang mendasari hokum yang berlaku, nilai – nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:
a) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
b) Nilai jasmani atau kebendaan dan nilai rohani atau keakhlakan.
c) Nilai kelanggengan atau konservatisme dan nilai kebaharuan atau inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa undang – undang, peraturan pemerintah, perpres, hingga perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara substanstif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada umumnya. Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat. Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya (culture) hukumnya.
Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia.Salah satu hal yang perlu mendapat sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan supremasi hukum adalah sistem peradilan yang merupakan inti dari penegakan hukum di Indonesia. Hal lain yang tak kalah penting adalah segala permasalahan yang ada dan terjadi didalamnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem peradilan di Indonesia saat ini penuh dengan kebobrokan dan kebusukan berpengaruh sangat kuat pada merosotnya atau bahkan hilangnya supremasi hukum di negara ini. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus terjadi begitu saja tanpa adanya usaha untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum. Oleh karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja keras dari seluruh elemen yang ada di negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi hukum bukan hanya hak lembaga – lembaga negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang bercirikan prinsip checks and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi hukum dinegara kita. Bahwasanya pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa substansi dan aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum.  
 Dimana Lawrence M. Friedman menekankan kepada pentingnya budaya hukum (legal culture). Karena sistem hukum tanpa budaya hukum yang mendukungnya serupa dengan iklan di dalam baskom yang tidak bisa berenang. Dimana kalau sistem hukumnya di umpamakan sebagai suatu pabrik, menurut Friedman lagi, jika substansi itu adalah produk yang dihasilkan dan aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk, sedangkan budaya hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan mesin dan yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya. Ambil contoh mengapa aparatur hukum ada yang tidak taat hukum?. Jika kita mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah budaya hukum (legal culture), begitu juga ruang lingkup budaya hukum, bila kita ingin mengetahui tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi bulan – bulanan aparat hukum.
Demikian juga hal nya, sebagaimana kita ketahui bahwasanya dalam dunia kejaksaan diIndonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:
1. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan dilingkungannya.
2. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil ketiga.
3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif an bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku.
5 Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai – nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa – jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di negara kita akan mengarah pada keberhasilan. Sebagai komponen kekuasaan eksekutif dibidang penegak hukum adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya sehingga dari perenungan ini diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum. Dan bukan sebagai wakil orang pribadi per pribadi dalam memenuhi penggilan tugasnya.
Kejaksaan adalah merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini. Mengevaluasi atas kinerja yang telah dilaksanakan selama ini. Serta menunjukkan jati diri agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Dalam situasi dan kondisi sekarang ini dimana kejaksaan mengalami krisis kredibilitas maka sudah sepantasnya pihak kejaksaan mewujudkan aparat hukum yang profesional dan berintegritas guna meningkatkan citra kejaksaan.
Berbagai institusi bahkan negara manapun pernah mengalami krisis kredibilitas, namun yang terpenting adalah menyikapi dan menghadapinya. Apakah akan bersembunyi dan mengaharap orang akan melupakannya? Ataukah akan berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar terhadap faktor – faktor yang menyebabkan krisis kredibilitas itu terjadi?. Sebagai pilihan, berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar yang mesti dilakukan. Semangat pembauran dan koreksi mendasar diarahkan pada perbaikan serta pembenahan institusi kejaksaan disegala bidang. Termasuk peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan yang sinergis dengan peningkatan integritas, guna mengoptimalkan pelaksanaan visi dan misi kejaksaan, serta selaras pula dengan agenda reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan hukum yang lebih baik kepada masyarakat.
Peningkatan profesionalisme dan integritas harus dapat diwujudkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan wewenang dalam upaya penegakan hukum dengan memberikan hasil yang nyata. Tidak bersifat retrorika, tetapi secara sungguh – sungguh dapat dirasakan oleh masyarakat, secara adil, taat asas, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan tidak diskriminatif. Dengan pelaksanaan tugas secara profesional dan berintegritas, diharapkan dapat memulihkan citra dan kredibilitas kejaksaan dimata masyarakat tahap demi tahap. Berbagai program kegiatan telah ditetapkan dalam pembauran kejaksaan yang memiliku spesifikasi dan kekhususan dengan tujuan untuk melakukan pembenahan. Baik institusional maupun sumber daya manusia. Salah satu yang diprioritaskan adalah pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia agar dapat mewujudkan aparatur kejaksaan yang profesional dan berintegritas.
Pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia kedepan diarahkan pada hal – hal yang terkait dengan pola jenjang karir, monitoring dan sistem evaluasi. Begitu pula peningkatan kemampuan dan keahlian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Baik yang bersifat manajemen admistratif, maupun teknis pengadaan perkara. Monitoring dan evaluasi terhadap kinerja para pejabat struktural maupun fungsional akan dilakukan secara berkelanjutan dan dengan komitmen yang tinggi sehingga reward dan punishment dapat diterapkan secara tegas dan tuntas. Kepada jajaran bidang intelejen sebagai bagian dari organisasi diharapkan mampu menghasilkan produk – produk inteljen yang bermanfaat bagi semua bidang. Kepada jajaran bidang pidana umum agar penanganan perkara dan administrasi perkara tindak pidana umum, mulai dari tahap penuntutan, upaya hukum, sampai dengan eksekusi harus benar – benar diperhatikan. Pimpinan unit bersangkutan juga harus selalu melakukan pengawasan melekat secara ketat pada tiap – tiap tahapan dalam penaganan perkara. Begitu juga dengan peningkatan kegiatan eksaminasi perkara secara rutin dan berkesinambungan. Penyelesaian secara segera pekara – perkara yang penting dan menarik perhatian masyarakat . Terutama penanganan perkara tindak tindak pidana narkotika dan psikotropika, ilegal logging, terorisme, perbankan, ilegal mining,money loundrying, human trafficking dan kejahatan trans – nasional lainnya.
Kepada jajaran bidang tindak pidana khusus, keberhasilan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi harus diikuti pula dengan penyelamatan dan pengembalian keuangan negara secara maksimal. Bila hal tersebut belum dapat dilakukan, maka keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi hanyalah sebatas keberhasilan yang terfokus terhadap aspek pemidanaan saja. Penulis sebagai bagian anggota dari masyarakat sadar hukum berharap secara positif, di dalam mengemban profesi, usaha – usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur – unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar – benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosiologis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas.
 Disamping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal. Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangkat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Disinilah maka penegakan hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan – tujuan yang dikandungnya.
 Sebagai warga negara yang mengemban kewajiban dan hak dinegara ini, saya berharap mengenai profesionalisme seorang jaksa seungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan diatas, bahwa antara lain ditangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas yang dimilikinya.
Sistem hukum yang modern adalah sistem hukum yang mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, sesuai dengan kondisi masyarakat yang di aturnya, di buat sesuai dengan prosedur yang di tentukan. Sehingga hukum itu dapat di mengerti oleh masyarakat.
Ciri-ciri hukum modern antara lain :
1. Jujur, tepat waktu, efisiensi, orientasi ke masa depan, produktif;
2. Terdiri atas peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam;
3. Sistem hukum yang transaksional, hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak mamandang usia, kelas, agama, dan jenis kelamin;
4. Bersifat universal dan di laksanakan secara umum;
5.   Hierarkis yang tegas;
6. Melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur;
7.   Rasional;
8. Di laksanakan oleh orang yang bepengalaman;
9. Spesialisasi dan di adakan penghubung antara bagian-bagiannya;
10. Hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat;
11. Penegak Hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga keneagraan;
12. Perbedaan yang tegas diantara tiga lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Menurut Paul Scholten, sistem hukum modern merupakan semua peraturan yang saling berhubungan, yang satu di tetapkan oleh yang lain. Peraturan tersebut dapat di susun secara rasional dan bagi uang bersifat khusus dapat di carikan aturan umumnya sehingga sampai pada asasnya yang mendasar.
Komponen sistem hukum modern adalah :
Unsur struktural: bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak dalam mekanisme tertentu;
Unsur substansi: hasil nyata yang di terbitkan oleh sistem hukum berupa :
a. Hukum inconcreto , yaitu kaidah hukum individual, seperti pengadilan menghukum terpidana.
b. Hukum aiabstracto, yaitu kaidah hukum umum, seperti KUHP tentang pencurian.
3. Unsur budaya: sikap tindak masyarakat beserta nilai-nilai yang di anutnya, jalinan nilai sosial berkaitan dengan hukum beserta sikap tindak yang mempengaruhi hukum.
Teori hukum merupakan suatu proses atau aktifitas kegiatan yang bertujuan untuk memberikan suatu penjelasan mengenai realitas maupun tatanan-tatanan hukum yang hidup dan berkembang dalam satu kesatuan masyarakat pada umumnya. Teori hukum ini juga merupakan suatu kajian teoritik di bidang ilmu hukum yang wujudnya berupa suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan maupun putusan-putusan yang lahir dari hukum itu sendiri. Beberapa teori hukum yang ada dan berkembang dalam masyarakat diantaranya adalah:
a. Teori Hukum Klasik.
Teori ini merupakan suatu konsep hukum yang bersumber dari religiusitas, alam dan adat kebiasaan dari suatu masyarakat yang telah ada dan berlaku sejak dimulainya suatu kehiduapan masyarakat sampai sekarang. Prinsip dari teori ini mangatakan bahwa hukum merupakan seperangkat norma moral dan norma sosial yang berfungsi sebagai pengarah, sebagai control dan merupakan ukuran terhadap perilaku manusi yang orientasinya adalah keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
Teori hukum klasik ini terdiri atas tiga bagian yakni :
1. Hukum agama
Teori hukum ini bersumber dari sang pencipta untuk seluruh umat manusia yang bersifat abadi dan berlaku secara universal. Teori ini melettakan hukum sebagai suatu kesatuan stabilitas dan dinamika yang menyangkut kehidupan dunia akhirat yang mengakomodasi suatu keadaan baik keadaan normal maupun darurat. Konsep dari teori ini berorientasi bukan hanya pada kehidupan duniawi saja tetapi lebih kepada kehidupan akhirat.
2. Hukum yunani-romawi
Teori ini mengatakan bahwa hukum berasal dari dewa, maka sedapatnya dikatakan bahwa hukum itu merupakan anugrah terbesar untuk menjaga ketertiban dan ketentraman pada manusia sebagai individu dalam kelompok masyarakat. Teori ini mengatakan bahwa hukum dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam artian bahwa nabi, pastor, pendeta, gereja dan raja merupakan sumber hukum, pembuat hukum, pelaksana hukum, serta perangkat untuk penegakan hukum itu sendiri.
Aristoteles mengatakan bahwa hukum merupakan pembadanan dari akal dan terbebas dari nafsu, sehingga secara tidak langsung dapat kita katakana bahwa hukum merupakan suatu bentuk tatanan perdamaian yang dilandaskan pada keadilan yang memerintahkan orang untuk menahan diri dan menyerahkan penyelesaian sengketa kepada hakim. sehingga tanpa hukum pun keadilan dapat diperoleh baik itu keadilan yang bersifat distributive maupun keadilan yang bersifat korektif.
3. Hukum alam
Teori hukum alam mengatakan bahwa dasar dari hukum adalah alam dan inti dari alam itu terletak pada akal tetapi akal tertinggi dan paling utama adalah tuhan sehingga tatanan hukum itu bersifat abadi dan berlaku sacara universal. Hukum yang bersumber dari alam tersebut merupakan penuntun perkembangan dan pelaksanaan hukum yang paling ideal serta sarat akan nilai moralitas yang tidak memisahkan antara das sein dengan das solen.
Metode untuk menemukan hukum yang sempurnah menurut teori ini harus berisi asas-asas yang absolut yaitu hak asasi manusia sebagai makhluk individu. Menurut Thomas Aquinas, hukum dunia harus diatur dengan tatanan akal dan harus berketuhanan sehingga tuhan merupakan hukum yang tertinggi, dan untuk mencapai keadilan distributive dan komutatif maka hukum yang dibuat harus memuat 4 unsur yakni:
– Lex aeterna yakni hukum yang bersumber dari tuhan dan tujuanya untuk mengatur kehidupan alam semesta
– Lex naturals yakni hukum itu harus memuat dan berisi tentangg insting mempertahankan hidup, berkeluarga, mengenal tuhan, yang kemudian dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat.
– Lex divina yakni hukum merupakan bentuk penjabaran dari lex aeterna yang tercantum dalam perjanjian lama dan perjanjian baru (kitab perjanjian lama dan kitab perjanjian baru).
– Lex humana yakni hukum yang dibuat oleh manusia sabagai bentuk perwujudan dan pengaplikasian dari ketiga unsure tersebut diatas.
b. Teori Hukum Modern .
Teori hukum modern mengatakan bahwa hukum merupakan suatu norma yang dibuat oleh manusia dan lahir dari sebuah kesepakatan-kesepakatan antara manusia dalam sebuah bentuk musyawarah untuk mufakat yang diproses secara otonom, logis-rasional, secara mekanis dan teratur. Teori hukum modern ini merupakan bagian terkecil dari teori of law sehingga kajiannya menyangkut teori hukum atau doktrin hukum yang aturan-aturan hukumnya dipositifkan atau dikodifikasikan melalui kesepakatan legislative secara sistematis dan mekanis sehingga melahirkan suatu tatanan hukum yang positivistik berbasis pada peraturan yang berlaku secara netral yang juga merupakan ius constitutum .
Mengingat bahwa teori hukum modern merupakan bagian terkecil dari teori hukum, secara tidak langsung teori ini bersifat positivisme. Pada perkembanganya teori hukum modern ini mengalangi perbedaan pandangan sebagai akibat bahwa teori ini semula berotientasi pada dominasi qalbu atas akal, berbalik menjadi dominasi akal atas kalbu sehingga pada perkembanganya teori ini diklasifikasikan menjadi 2 golongan yakni :
1. Positivisme analitis.
Pada dasarnya paham ini mempunyai kesamaan dengan teori kedaulatan yang dikemukakan oleh John Austin bahwa hukum bersal dari kehidupan yang berdaulat yakni individu, lembaga atau sekumpulan individu yang mempunyai kapasitas untuk membentuk hukum. Paham positivisme analitis ini disamping menempatkan konsentrasinya pada bentuk norma hukum juga berkonsentrasi pada isi norma itu sendiri dan terpisahkan dari moralitas dan keadilan. Positivisme analitis juga mengatakan bahwa peraturan tidak boleh berisi tuntutan yang tidak boleh melebihi apa yang dapat dilakukan, sehingga apabila peraturan itu di buat harus di susun dalam rumusan yang mudah dimengerti dan pelaksanaanya harus di sesuaikan dengan realitas empirisnya.
2. Positivisme pragmatis.
Tipe positivisme pragmatis mengatakan bahwa hukum harus mampu mempu memuaskan keinginan secara maksimal sehingga kebenaran hukum dapat ditentukan oleh fakta sosial, supaya terwujud kepastian, keadilan, kemanfaatan hukum.
c. Perbedaan Teori Hukum Klasik dan Teori Hukum Modern
Dari kedua teori hukum diatas, maka jelas sekali bahwa kedua teori tersebut mempunya karakter yang berbeda, baik dari pembentukan hukum, maupun sumber hukum yang kemudian ditetapkan sebagai suatu tatanan hukum yang berlaku dalam sebuah tatanan kehidupan dalam bermasyarakat.
Teori hukum klasik menetapkan hukum sebagai suatu aturan yang bersumber dari Tuhan atau Dewa sehingga penerapan hukumnya tidak hanya di titik beratkan pada tercapainya kedamaian di dunia saja, tetapi juga pada aspek akhirat. Karena mengingat bahwa hukum bersumber dari Tuhan maka dapat dipastikan bahwa hukum tersebut bersifat pasti dan utuh sebab kebenaran yang hakiki adalah bersumber dari Tuhan.
Sedangkan teori hukum modern menetapkan hukum dengan jalan menetapkan suatu norma yang dibuat oleh manusia melalui musyawarah untuk mufakat dan norma-norma tersebut kemudian dijadikan hukum positif dan dikodifikasi sebagai suatu aturan yang berlaku dan mengikat suatu tatanan masyarakat ius constitutum yang orientasinya hanya untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
B.Konsep Sosiologi Hukum
Di dalam masyarakat modern, biasanya petugas penegakan adalah pengadilan dari salah satu instansi negara tertentu, yang bilamana perlu bisa minta bantuan kekuasaan polisi lebih lanjut untuk memaksakan keputusan- keputusannya. Adanya hukum yang dijamin, timbul karena kemungkinan
 saat kelompok akan mengajukan protes bila ada pelanggaran, terhadap suatu aturan yang kemudian akan menghasilkan suatu keputusan dari suatu badan resmi yang wewenang hukumnya untuk mengambil keputusan dalam kasus-kasus demikian cukup dihormati dalam masyarakat sehingga keputusannya akan dihormati.
Dewasa ini pemaksaan hukum melalui kekerasan menjadi monopoli negara. Suatu hak dalam kerangka negara dijamin oleh kekuasaan pemaksa dari otoritas pejabat-pejabat politik. Pemaksaan hak dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat pemaksa komonitas politik sering kali hasilnya buruk dibanding dengan kekerasan pemaksa lainnya, misalnya : agama.
Menurut Weber tidak semua hukum yang efektif dalam masyarakat adalah hukum negara, ada juga yang bukan hukum negara, sebagai contoh hukum agama yang seringkali lebih besar pengaruhnya terhadap individu dibanding dengan hukum yang ditegakkan oleh kekuasaan politik. Anggapan bahwa negara hanyalah ada jika alat-alat pemaksa komonitas politiknya unggul diatas semua alat-alat lainnya, adalah anti sosiologi. Hukum gerejani masih merupakan hukum, juga jika ia berbenturan dengan hukum negara sekalipun.Di dalam komonitas modern hukum dijamin oleh seorang hakim atau suatu lembaga lain yang merupakan wasit yang tidak memihak dan tidak berkepentingan dibandingkan dengan orang yang biasa dinilai sebagai mempunyai hubungan khusus dengan salah satu pihak.
Hukum, konvensi atau kebiasaan, menurut Weber tergolong kedalam sesuatu yang berkelanjutan dengan peralihan-peralihan kecil yang menuju dari yang satu kepada yang lain. Kebiasaan sebagai kegiatan seragam tertentu yang terus berlangsung hanya karena orang sudah terbiasa karenanya dan terus menyatakannya berdasarkan peniruan tanpa berpikir. Konvensi dikatakan ada jika tingkah laku tertentu diusahakan supaya bisa berlaku, tetapi tanpa menggunakan pemaksaan apapun baik pisik maupun psikologis. Kebiasaan
berbeda dari pada hukum karena :
1. Tidak ada persyaratan normatif untuk menaati tipe aktifitas.
2. Tidak ada alat untuk menegakkannya.
Sedangkan perbedaan antara hukum dan konvensi yaitu suatu tipe aktifitas uniforn yang berbeda dari kebiasaan disyaratkan secara normatif, akan tetapi tidak ditegakkan oleh
suatu alat khusus. Hukum formal hanyalah merupakan satu faktor saja yang menentukan suatu tata sisoal medern, meskipun sifatnya sangat khas.
1.Pengaruh Ide-Ide: Peranan Ahli-Ahli Hukum
Untuk membentukan pendidikan hukum profesional yang  berfikir spesifik hukum, terdapaT kemungkinan dua jalur yang berbeda. Yang pertama berupa pendidikan empiris dalam hukum sebagai suatu keterampilan, dengan cara magang untuk belajar dari praktuisi sambil melakukan praktek hukum yang sesungguhnya. Sedangkan yang kedua, hukum diajarkan disekolah yang khusus, dimana tekanannya diberikan pada teori hukum dan
ilmu pengetahuan, artinya fenomena hukum diperlakukan secara rasional dan sistimatis. Tipe pertama diatas, diberikan oleh metode Inggris yang mirip kumpulan pengrajin dimana hukum diajarkan oleh ahli-ahli hukum.Dalam pengadilan-pengadilan di Inggris para pengacara selalu diambil dari kalangan orang-orang yang biasa menulis yaitu dari ulama-ulama dan merupakan penghasilan utama mereka, sedangkan tipe kedua merupakan tipe yang paling murni dengan melalui cara pendidikan hukum di universitas-universitas, dan hanya lulusan-lulusan ini yang diperbolehkan melakukan praktek hukum dan akhirnya universitas-universitas yang menikmati monopoli atas pendidikan hukum.
Suatu tipe pendidikan hukum rasional yang sangat khas, walaupun tidak formal, yuridis, dalam bentuknya yang paling murni digambarkan dalam pengajaran hukum dalam seminari-seminari untuk pendidikan pastor atau sekolah-sekolah hukum yang berkaitan dengan seminari-seminari itu.
2. Pembentukan Hukum Rasional Secara Historis:
Pengaruh Bentuk Otoritas PolitikPembentukan hukun nasional secara historis dapat
dibedakan menjadi empat fase :
1. Disingkirkannya secara tahab demi tahab acara-acara hukum primitif oleh otoritas politis dan keagamaan.
2. Pengaruh organisasi otoritas politik atas hukum.
3. Rasionalisasi hukum dan administrasi oleh penguasa politik demi kemajuan kepentingan-kepentingan administrasi mereka sendiri demi kepentingan komersial dari golongan
borjuasi yang sedang muncul.
4. kodifikasi hukum secara sistimatis oleh ahli-ahli hukum yang berpendidikan universitas.
Prosedur hukum yang primitif menurut Weber ada tiga macam acara hukum yang orisinil, yaitu :
1. Ada peradilan kecil keagamaan, yang dipergunakan oleh komunitas yang merasa dirinya terancam oleh bahaya-bahaya magis sebagai akibat perilaku anggotanya.
2. Ada tata cara perdamaian antara kelompok-kelompok yang bertali persaudaraan.
3. Ada arbitrase dalam pertikaian oleh kepala rumah tangga,yang tidak diikat oleh batasan-batasan resmi atau prinsip-prinsip resmi.
Rasionalisasi cara berpikir menurut hukum dan hubungan-hubungan sosial yang dimulai oleh doktrin hukum kaum agama dapat mengambil dua bentuk :
1. Pemisahan hukum suci dari hukum sekunder untuk penyelesaian konflik-konflik antar manusia yang tidak ada sangkut paut keagamaan.
2. Kombinasi teakratis dari ketentuan-ketentuan keagamaan dan ritualistis dengan aturan-aturan hukum.
Di India segolongan ulama yang dominan mampu untuk mengatur keseluruhan bidang kehidupan secara ritualistis, dengan demikian mampu mengendalikan seluruh sistem hukum secara sangat luas.Dalam negara-negara Islam setidak-tidaknya dalam teori tidak ada satu bidang kehidupanpun dalam mana hukum sekular dapat terbentuk secara mandiri terlepas dari nama-nama suci.
Menurut Weber ada dua bentuk otoritas politik tradisional, yaitu :
1. Otoritas yang patriarkal dan variasi-variasi feodel dari patrimonalisme.
2. Variasi-variasi feodel dari patrimonial.
Bentuk paling murni dari otoritas tradisional digambarkan oleh pemerintahan patriarkal oleh kepala suatu rumah tangga atas anggota-anggotanya. Tipe ideal dari peradilan patriarkal yang informal yang bertujuan untuk mendapatkan penyelesaian perkara-perkara secara adil yang material adalah peradilan kadi. Kadi adalah sebutan bagi seorang hakim di negara-negara Islam, yaitu wakil gubernur setempat yang menjalankan peradilan, berdasarkan adat setempat atau hukum Islam. Peradilan Kadi menentang sistem peradilan modern yang rasional secara formal berdasarkan penataan aturan-aturan hukum dengan secara sangat patuh.
Beberapa ciri Peradilan Kadi, akan membedakannya dari sistem peradilan rasional formal yaitu :
1. Kebijakan yang memiliki kwalitas karismatik lebih penting artinya dari pada ekspertise hukum yang formal.
2. Bukti dari fakta-fakta tidak diatur secara prosedural, tetapi diserahkan kepada kebijakan hakim.
3. Perkara yang diputuskan tidak berdasarkan aturan-aturan formal.
4. Keputusan dicapai tidak melalui berpikir secara formal, tetapi secara intuitif.
5. Terdapat suatu pembauran antara aktifitas-aktifitas administratif dan aktifitas-aktifitas peradilan.
Sedangkan sistem peradilan patrimonial rasionalisasi, seperti di Inggris, raja lebih senang menggunakan juri dari pada bertempur untuk keadilan dan cara-cara pembuktian irrasional
lainnya yang tidak dapat diterima oleh kaum borjuis. Pada mulanya peradilan patrimonial harus bersaing dengan peradilan lokal dari komunikasi.Bentuk-bentuk kuno dari peradilan rakyat berasal dari tata cara peradamaian antara kelompok-kelompok kekeluargaan. Irrasional formalistik dari peradilan bentuk-bentuk lama ini telah dihapuskan dibawah dampak kekuasaan dua pangeran atau magistrat-magistrat atau dalam keadaan tertentu oleh organisasi
ulama. Semakin rasional wewenang yang mengelola administrasi para pangeran atau pemimpin agama, makin luas digunakan pejabat administratif dalam melaksanakan kekuasaannya.Dengan peningkatan rasionalitas dari organisasi otoritas, maka bentuk-bentuk prosedur yang irrasional akan hilang, terjadi sisteminasi hukum material, artinya hukum sebagai satu keseluruhan telah dirasionalkan.Kepentingan para pejabat, dunia usaha kaum borjuis dan monarki dalam tujuan fiskal dan administratif merupakan faktor pendorong terjadinya kodifikasi. Kodifikasi hukum yang sistematis bisa merupakan hasil dari suatu orientasi kembali kehidupan hukum secara sadar dan universal. Pencatatan hukum secara sistematis bisa juga terjadi demi kepentingan keamanan hukum sesudah terjadi konflik sosial.
3. Hukum dan Otoritas : Administrasi Yang diatur Dengan Aturan Rasional
Kesahihan suatu kekauasaan untuk memerintah dapat dinyatakan pertama, dalam sutu sistem peraturan-peraturan rasional yang dibentuk secara sadar, yang ditaati sebagai norma-norma yang mengikat secara umum. Akan tetapi kesahihan kekuasaan untuk memerintah dapat juga bersandar kepada otoritas pribadi.Otoritas diatas dirumuskan sebagai kemungkinan bahwa pemisah-pemisah khusus tertentu dari sumber akan ditaati oleh kelompok orang-orang tertentu. Biasanya otoritas kegiatan sejumlah besar orang memerlukan adanya kontrol oleh sekelompok orang. Ada tiga tipe murni yang sah, kesahihan tuntutan-tuntutan mereka akan legitimasi dapat bersandar pada :
1. Alasan-alasan rasional, yaitu berdasarkan atas kepercayaan dalam legalitas pola-pola aturan normatif (otoritas berdasarkan hukum).
2. Alasan-alasan tradisional, yaitu bersandar kepada kepercayaan yang muncul mengenai kesucian tradisi-tradisi (otoritas tradisional).
3. Alasan-alasan karismatik, yaitu bersandar pada kesetiaan kepada kesucian yang khusus dan luar biasa, heroisme,atau watak seseorang yang patut dijadikan contoh (otoritas karismatik).
Dalam hal otoritas berdasarkan hukum ketaatan diwajibkan terhadap tata tertip bukan perorangan yang ditegakkan secara hukum.Berlakunya hukum berdasarkan pada diterimanya
kesahihan gagasan-gagasan yang saling tergantung, sebagai berikut :
1. Setiap norma-norma hukum bisa dibuat melalui persetujuan atau pemaksaan. 2. Setiap badan hukum pada hakekatnya terdiri dari satu sistem konsisten dari peraturan-peraturan abstrak yang dibuat dengan sengaja.
3. Orang yang tipikal memiliki otoritas itu menduduki suatu jabatan.
4. Orang yang menaati suatu otoritas, berbuat demikian secara anggota kelompok perhimpunan yang ditaatinya hanyalah hukumnya.
5. Anggota-anggota kelompok perhimpunan sepanjang mereka menaati seorang yang memiliki otoritas, tidak wajib taat kepadanya sebagai seorang individu melainkan tata kepada tata tertib yang bukan perseorangan.
Adapun kategori-kategori fundamental dari otoritas menurut hukum yang rasional adalah sebagai berikut :
1. Suatu organisasi berkesinambungan dari fungsi-fungsi resmi yang dilihat oleh aturan-aturan.
 2. Suatu lingkungan yang kompetensi yang khusus.
3. Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hirarki.
4. Peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku suatu jabatan mungkin berupa peraturan-peraturan teknis atau norma-norma.
5. Dalam tipe rasional adalah soal penting bahwa anggota-anggota staf administratif sepenuhnya harus dipisahkan dari pemilik alat-alat produksi atau administratif.
6. Dalam kasus tipe rasional juga terdapat ketiadaan cara memperoleh posisi jabatan oleh orang yang sedang menjabat.
7. Tindakan keputusan dan peraturan administratif dirumuskan dan dicatat dalam tulisan.
8. Mereka digaji dengan bayaran tetap dalam uang, untuk sebagian terbesar dengan mempunyai hak pensiun.
9. Jabatan itu diperlakukan sebagai satu-satunya, atau setidak-tidaknya pekerjaan utama dari pemegangnya.
10. Jabatan merupakan suatu karier.
11. Pejabat tunduk pada disiplin yang ketat dan sistematis serta pengawasan pengawasan dalam melaksanakan jabatannya.
12. Otoritas birokrasi diterapkan dalam bentuknya yang paling murni.
13. Pengangkatan melalui kontrol bebas yang memungkinkan adanya seleksi bebas, adalah soal pokok bagi demokrasi modern.
Tipe administrasi menurut hukum yang rasional sanggup
untuk dipekerjakan dalam segala macam situasi dan konteks. Sumber utama dari superioritas administrasi birokrasi terletak dalam penerapan pengetahuan tehnik. Birokrasi merupakan
sarana yang paling tepat untuk mengubah kegiatan komunitas menjadi kegiatan organisasi sosial yang disusun secara rasional. Administrasi birokrasi pada dasarnya berarti melakukan pengawasan atas dasar pengetahuan tentang fakta konkrit dalam lingkungan kepentingan sendiri. Semangat birokrasi rasional secara normal memiliki sifat-sifat umum yaitu :
1. Formalisme, yang diinginkan semua kepentingan yang berhubungan dengan pengamanan keadaan pribadi mereka sendiri, apapun isinya.
2. Ada suatu kecendrungan lain, yang nampaknya bertentangan dengan hal tersebut diatas, suatu kontradiksi yang untuk sebagian memang benar.
4. Sistem Peradilan Rasional
Menurut Weber ada dua macam hubungan antara birokrasi dengan sistem peradilan, yaitu :
1. Birokrasi sebagai sesuatu bentuk organisasi dari kegiatan resmi dapat juga diterapkan kepada peradilan.
2. Organisasi birokrasi semacam itu dari sistem peradilan memciptakan suatu landasan bagi realisasi suatu lembaga hukum yang rasional yang dirasionaliasasi secara konseptual.Birokrasi memberikan sistem peradilan suatu landasan untuk mewujudkan suatu lembaga hukum rasional yang disistematisasi secara konseptual atas dasar undang-undang. Peradilan rasional atas dasar konsep-konsep hukum formal yang ketat harus dihadapkan kepada tipe peradilan yang terutama dituntun oleh tradisi-tradisi suci, tanpa menemukan di dalamnya suatu landasan yang jelas untuk mengambil keputusan atas kasus-kasus yang konkrit.
5. Modal Hukum Rasional Yang Formal dan Kritiknya
Meskipun hukum rasional suatu fenomena berkultural yang memiliki arti penting secara universal, yaitu tidak hanya baik untuk Barat, tetapi juga baik untuk masyarakat-masyarakat modern pada umumnya, namum pada waktu yang sama, fenomena kultural dari hukum rasional merupakan prestasi tidak stabil dan sangat tidak pasti.Jadi meskipun hukum rasional yang formal mempunyai arti universal bagi masyarakat-masyarakat modern pada umumnya, namun eksistensinya, belum ada, pemunculannya menuju ke eksistensi sama sekali belum pasti. Model hukum rasional formal, seperti yang telah muncul di Barat juga telah menjumpai kritik yang makin mengikat dalam kepustakaan ilmu sosial yang membahas hukum dan organisasi formal. Suatu asumsi mengenai hukum rasional adalah bahwa kekuasaan yang bijak akan dikendalikan yang menundukkannya kepada aturan-aturan. Dalam masyarakat modern dihadapkan pada jenis-jenis hukum yang efektifitasnya tidak bergantung kepada diturutinya hukum tersebut secara harfiah, melainkan disesuaikan kepada jiwa dan tujuan nya.
Birokrasi menurut Weber paling cocok bagi administrasi rutin, akan tetapi dalam kondisi-kondisi yang ditimbulkan oleh perubahan sosial permanen, maka makin sedikitlah tugas-tugas yang dapat ditangani secara rutin. Dan makin lama makin disadari bahwa organisasi birokrasi memiliki kekurangan-kekurangan teknis yang mendasar. Hukum sering kali bukannya memajukan stabilitas dan kepastian, malahan justru mengakibatkan ketidakstabilan dan ketidak pastian. Hukum diartikan dalam konteks suatu oposisi
antara masyarakat, sebagai tempat asli dari kehidupan sosial dan negara sebagai kekuasaan politik yang terorganisasi dengan segala kepentingannya yang bertindak diatas kehidupan sosial, jadi hukum berperan sebagai pedang negara yang membelah dan memisah kebiasaan.
Efek-efek yang merusak dari hukum formal ini paling kuat terdapat dalam daerah-daerah jajahan. Sesungguhnya pemerintahan pribumi adalah bentuk pemerintahan yang disukai oleh rakyat, dan melakukan apa yang mereka inginkan dengan cara yang mereka mengerti.Dominasi kolonial melambangkan hukum yang represif yang tidak mengabdi kepada kepentingan rakyat yang dijajah. Dari kritik diatas hukum rasional yang formil ini, dapat disimpulkan bahwa, hukum formal tidak berarti sudah mencakup segala galanya namun demikian formal sangat berharga.


Lahirnya hukum modern, yang pertama terbentuk di Eropa Barat, menurut Weber adalah merupakan konsep hukum modern, yang menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Aturan-aturan hukum memiliki suatu kwalitas “normatif ” yang umum dan kurang lebih    abstrak.
2. Hukum modern adalah hukum “positif” hasil keputusan-keputusan yang diambil secara sadar.
3. Hukum modern diperkuat oleh kekuasaan yang memaksa dari negara dalam bentuk sanksi yang diberikan dengan sengaja.
4. Hukum modern adalah “Sistematis” aturan-aturannya, prinsip-prinsipnya konsep-konsep dan dokrin-dokrinnya yang berbeda-beda.
5. Hukum modern adalah “Sekuler” substansinya sama sekali terpisah dari pertimbangan-pertimbangan keagamaan dan etis.















BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inkonsistensi penegakan hukum diatas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka diluar jalur.
Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkosistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten harus terus di upayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
B. SARAN
Berikut saran yang saya berikan dalam upaya mengembalikan citra penegakan hukum dimata masyarakat yaitu dengan melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada dengan cara:
1. Struktur, terkait dengan struktur hukum maka perlu dilakukan penataan terhadap institusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum.
2 Substansi, dalam hal substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang – undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang – undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
3. Legal culture, untuk budaya hukum perlu dikembangkan perilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas. Artinya apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berperilaku taat dan patuh terhadap hukum, dengan hal tersebut maka akan menjadi teladan bagi rakyat.

1 komentar:

TEKNOLOGI INDUSTRI HOLTIKULTURA KLIMATRIKS

TEKNOLOGI INDUSTRI HOLTIKULTURA KLIMATRIKS   JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA 2018