MAKALAH SISTEM HUKUM DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Maksud Dan Tujuan Penulisan
Adapun
alasan yang membuat penulis mengangkat inkonsistensi penegakan hukum di
Indonesia sebagai judul makalah karena hukum dimata masyarakat saat ini
mengalami krisis kredibilitas. Dimana terungkapnya banyak kasus kecurangan
dalam penegakan hukum di Indonesia mengarahkan masyarakat berpikir kepada bahwa
hukum hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun
kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum. Karena hal
tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di
Indonesia. Untuk itu dalam pembuatan makalah ini akan membahas masalah
inkosistensi penegakan hukum di Indonesia, faktor – faktor yang mempengaruhinya
serta upaya untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum dalam
rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
B. Latar Belakang Masalah
Didalam
sistem pergaulan hidup, secara prinsip manusia itu diciptakan bebas dan
sederajat. Akan tetapi dengan kebebasan tersebut manusia tidak bisa berbuat
sekehendak hatinya terhadap manusia lainnya, karena ada batasan – batasan yang
tidak boleh dilanggarnya berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Pada
dasarnya masing – masing anggota masyarakat sudah tentu mempunyai kepentingan
yang kadang – kadang sama dan sering pula berbeda. Perbedaan kepentingan ini
selanjutnya dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat apabila tidak ada
aturan yang dapat menyeimbangkannya. Demi tertib dan teraturnya kelompok
masyarakat diperlukan adanya aturan, mulanya disebut kaidah. Jadi dapatlah
dikatakan bahwa apa yang disebut kaidah adalah patokan atau ukuran ataupun
pedoman untuk berkeprikelakuan atau bersikap tindak dalam hidup.
Masyarakat
dalam pertumbuhannya selalu berkembang, dimulai dari keluarga sebagai masyarakat
yang paling kecil atau masyarakat sederhana kemudian berkembang menjadi semakin
kompleks atau masyarakat modern. Perkembangan masyarakat tadi pasti dibarengi
dengan timbulnya hukum untuk mengatur dan mempertahankan sistem pergaulan hidup
anggota – anggotanya. Keberadaan hukum didalamnya adalah sebagai peraturan yang
bersifat umum dimana seseorang atau kelompok secara keseluruhan ditentukan
batas – batas hak dan kewajibannya. Mengacu kepada hak dan kewajiban, maka aturan
yang paling tepat adalah apa yang dinamakan hukum. Demikian dapat diketahui
bahwa hukum dapat mengatur segala kepentingan manusia mulai dari jabang bayi
yang masih dalam kandungan ibunya sampai seorang ibu itu meninggal dunia. Salah
satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik,
disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa
sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik
antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam
hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk
penyelesaian konflik yang bersifat
netral dan tidak memihak.
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat
dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi
mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan.
Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi
setiap pihak yang sedang mengalami konflik seringkali bersifat diskriminatif, memihak
kepada yang kuat dan berkuasa. Adanya ketimpangan pelaksanaan hukum tersebut
maka timbullah pemasalahan hukum di Indonesia.
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena
beberapa hal, baik dari system peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsisten
penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara
banyak permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh
masyarakat awam adalah inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi
penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri , keluarga maupun
lingkungan terdekatnya yang lain. Namun inkonsistensi penegakan hukum ini
sering pula kita temui dalam media elektronik maupun cetak yang menyangkut
tokoh – tokoh masyarakat seperti, pejabat, orang kaya dan lain sebagainya.
Akibat yang
ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif atau
yang disebut inkonsistensi penegakan hukum adalah kerusakan dan kehancuran
diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial dan budaya). Selain itu buruknya
penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan
mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main
hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hukum yang ada. Merangkum fenomena diatas, dimana penegakan
hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik dan efektif tentunya menjadi
pemasalahan yang sangat serius, dimana pada pembahasanberikutnya akan lebih
dijelaskan faktor apa saja yang menyebabkan inkonsistensi penegakan hukum,
akibat yang ditimbulkan dari inkonsistensi penegakan hukum, serta upaya yang
dilakukan untuk mengatasi atau menekan seminimal mungkin terjadinya
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
BAB II
PERMASALAHAN
Cita – cita
reformasi untuk mendudukan hukum ditempat tertinggi (supremacy of law) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi.
Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan – angan. Bila dicermati
suramnya wajah hokum merupakan akibat dari kondisi penegakan hukum (law
enforcement) yang dalam keadaan terhenti dan kalaupun hukum ditegaskan maka
penegakannya diskriminatif. Praktik – praktik penyelewengan dalam proses
penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif,
jual beli putusan hakim, bahkan kolusi polisi, hakim, advokat dan jaksa dalam perekayasaan
proses peradilan merupakan realitas sehari – hari yang dapat ditemukan dalam
penegakan hukum di negeri ini.
Pelaksanaan penegakan hukum yang 'kumuh'
sepeti itu menjadikan hukum dinegeri ini seperti yang pernah dideskripsikan
oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427 – 347 SM) yang menyatakan bahwa
''hukum adalah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi
akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat''. Sehingga memberikan pertanyaan
di benak kita apa yang terjadi di sektor penegakan hukum? Dan ada apa dengan
aparat penegak hukum?. Diberbagai kasus ditingkat pejabat sampai rakyat
semuanya mengacu pada keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja. Tak
jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk kalangan yang berduit, yang tidak
mempunyai uang tidak mempunyai hak atas hukum walaupun dia benar.
Kalau dilihat dari struktur negara kita,
Indonesia adalah negara hukum tapi kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah
pertanyaan yang selalu muncul dalam benak kita. Krisis penegakan hukum telah
menjamur di negeri ini. Mungkin ironis sekali jika hal ini menjadikan negara
kita sebagai Negara hukum namun miskin hukum.Bagi mereka yang mengantongi
banyak rupiah, hukum seolah tidak berani menyentuh. Namun bagi mereka yang
miskin, hukum seperti tidak mau berkompromi. Terkuaknya kasus – kasus besar
pelanggaran hukum di tanah air akhir – akhir ini sungguh merisaukan dan dan
mengusik rasa keadilan bagi siapa saja yang waras. Kasus century, rusaknya
perlakuan sistem rumah tahanan, makelar kasus (markus), suap – menyuap, hingga
pembunuhan yang berbau politisi menunjukkan ada yang tidak beres pada penegakan
hukum di Indonesia. Dari sekian banyak kasus itu, mencuat kasus – kasus korupsi
yang sering melatar belakanginya. Padahal kita semua tahu, hukum adalah salah
satu instrumen paling vital dalam membangun sebuah bangsa menuju peradaban
kemanusiaan yang adil. Kecenderungan manusia yang selalu ingin menang sendiri,
egois, dan individualis.
Jika tidak ada hukum yang mengaturnya, maka
akan melahirkan penindasan dan perbudakan modern ditengah masyarakat. Untuk
itulah negara kita menciptakan undang – undang. Tapi sayangnya, undang – undang
yang dipakai sebagai hukum belum mampu membersihkan koruptor – koruptor
dilembaga pemerintah. Sampai saat ini masih banyak koruptor yang begitu
asyiknya melenggang dan menertawai negeri yang banyak dihuni oleh orang – orang
miskin ini. Tercatat, negara ini menempati peringkat kedua dalam hal korupsi di
tingkat Asia dan peringkat keenam ditingkat dunia. Sebetulnya ada satu
persoalan yang sangat krusial dilembaga hukum kita. Persoalan itu berupa lemahnya
integritas para penegak hukum yang mudah dibeli oleh para mafia hukum dan para
koruptor. Semua itu bisa juga terlihat pada munculnya kasus antara lembaga
independen KPK dan Polri tempo hari. Bagi mereka yang mengantongi banyak
rupiah, hukum tentu tidak akan berani menyentuh, sebaliknya bagi mereka yang
miskin dan banyak dibelit persoalan ekonomi, hukum seperti tidak mau lagi
berkompromi sedikit pun.
Drs. IGM.
Nurdjana, SH, MH menjelaskan, pertama lemahnya integritas penegakan hukum korupsi
dipengaruhi oleh problematik dalam sistem hukum pidana sebagai hukum formal dan
hukum materiil yang secara substansi hukum pada peraturan perundang – undangan
pidana potensi korupsi. Kedua, secara struktur hukum atau kelembagaan terdapat
overlapping kewenangan dan mengabaikan asas diferensial fungsional dalam bentuk
konflik. Ketiga, adanya disharmoni atau rivalitas negatif antara Polri, Jaksa
dan KPK serta dilema terbentuknya hakim adhoc. Terakhir, terjadinya kesenjangan
dan keterbatasan anggaran sarana dan prasarana sehingga secara cultural hukum
menjadi cara dinamis untuk dimanfaatkan sebagai alat pemerkaya diri.
Persoalan
itu yang membuat para koruptor berteriak kegirangan. Mereka berusaha
memanfaatkan kesempatan bagus tersebut sebagai alat dalam mempertahankan dirinya
dari jeratan hukum. Hasilnya, vonis hakim terhadap koruptor tersebut banyak
yang hasil akhirnya bebas. Selama ini, koruptor yang tertangkap oleh tangan
hukum seperti begitu mudah melepaskan diri. Belum pernah tersiar kabar seorang
koruptor divonis hukuman seumur hidup atau vonis mati. Karena itu wajar bila
korupsi terus meningkat, sebab tidak ada vonis hakim yang dapat membuat
koruptor jera. Penjara bagi mereka bukan lagi suatu ancaman karena dengan
banyak uang, penjara dapat disulap menjadi seperti layaknya hotel berbintang. Itulah
gambaran penegakan hukum dinegeri ini. Padahal telah jelas, unsur – unsur
korupsi adalah tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara untuk
kepentingan pribadi merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung
dan dilakukan oleh pejabat public atau penyelenggara negara maupun masyarakat.
Hal tersebut menjadi polemik dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat.
Salah satu kecenderungan yang menonjol adalah
menguatnya perhatian dan penilaian publik terhadap suatu proses hukum yang
dinilai kurang adil. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu solusi yang bijaksana
agar penegakan hukum dinegeri ini memiliki integritas yang kuat dan
profesionalitas yang tinggi. Dan solusi seperti apakah yang dilakukan untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum?.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Modern
Negara
modern mempunyai arti sebagai suatu institusi yang memiliki arsitektur rasional
melalui pembentukan struktur penataan yang rasional, dimana salah satu perkembangan
penting yang pertama adalah terjadinya sentralisasi kekuasaan dengan
menghancurkan otonomi dari komunitas-komunitas lokal pada masa pra negara
modern.Konsep kedaulatan negara yang muncul berbarengan dengan perkembangan
tersebut tidak menghendaki untuk bersikap toleran terhadap komunitas lokal yang
asli. Kedaulatan negara tidak membiarkan adanya kekuasaan lain dalam
wilayahnya. Sejak saat itu, institusi publik pertama harus diakaitkan dengan
kepala negara. Oleh karena itu, hukum yang ada adalah merupakan suatu hukum
negara.
Negara
modern melahirkan suatu kehidupan dan tatanan dengan struktur yang rigid yang
belum dikenal sebelumnya dalam sejarah perkembangan manusia. Strukturalisasi
rasional yang mendasar adalah diadakannya pembagian ke dalam kelompok
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Negara Indonesia sejak memerdekaan diri
pada tanggal 17 Agustus 1945 dari penjajahan sudah menyatakan diri sebagai
negara hukum. Hal itu bisa dilihat di dalam isi pembukaan UUD 1945, dan juga
Indonesia termasuk negara hukum modern.
Pertanyaan
di atas bisa kita jawab dengan kita terlebih dahulu melihat ciri-ciri negara
hukum modern. Ciri-ciri negara hukum modern adalah sebagai berikut:
1. Welfare State (mengutamakan
kepentingan seluruh rakyat).
2. Semua sama di depan hukum.
3. Negara ikut campur dalam semua
lapangan kehidupan masyarakat.
4. Ekonomi liberal diganti oleh system
yang dipimpin oleh pemerintah pusat.
5. Bestuur Szrong (menyelenggarakan
kesejahteraan).
6. Menjaga keamanan dalam arti luas,
yaitu keamanan social dari seluruh lapangan masyarakat.
Negara
Indonesia selalu turut serta ikut campur dalam semua kehidupan masyarakat,
mulai dari masalah perceraian, pembunuhan sampai korupsi dan teroris.
Pemerintah Indonesia juga selalu mengontrol supaya semua kegiatan masyarakat
tetap berjalan serasi, selaras dan seimbang sehingga setiap masyarakat merasa
aman dan nyaman tinggal di Indonesia.
Dari segi
perekonomian, pemerintah Indonesia tidak mau melepas secara leluasa Indonesia
ke pasar bebas, karena hal itu akan berdampak buruk bagi masyrakat kecil dan
bawah. Pemerintah masih memegang kendali dalam urusan perekonomian dengan
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi masyarakat Indonesia.
Negara
Indonesia sebagai negara hukum modern juga bisa dilihat dari bagaimana
pemerintah Indonesia selalu berusaha menjaga kesetabilan di dalam masyarakat.
Penegakan keadilan diperjuangkan oleh pemerintah untuk seluruh lapisan
masyarakat Indonesia tanpa memandang bulu.
Indonesia
bisa disebut negara hukum modern bisa dilihat dari bagaimana di Indonesia itu
menganut trias plitica. Trias polica merupakan sebuah system pembagian
kekuasaan ke eskutif, legislative dan yudikatif. Jadi untuk masalah hukum atau
peradilan ditangani oleh yudikatif, misalanya oleh kejaksaan, KPK, MA dan
lainnya. Sekali lagi saya tegaskan Indonesia adalah negara hukum modern.
Berdasarkan
uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berdiri di
atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan
syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai
dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia
agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang
sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi
pergaulan hidup antar warga negaranya.
Menurut
Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan
fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan
keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu
Peraturan Undang-Undang dan membuat Undang-Undang adalah sebagian dari
kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu, bahwa yang penting
adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya
yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.
Secara
umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya
tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di
hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak
bertentangan dengan hukum (due process of law).
• Supremasi Hukum (Supremacy of Law) :
Adanya
pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua
masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
• Persamaan dalam Hukum (Equality before
the Law) :
Adanya
persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui
secara normative dan dilaksanakan secara empirik.
• Asas Legalitas (Due Process of Law) :
Dalam
setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau
mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.
Contoh
kasus yang terjadi di hukum modern yaitu sebagai contoh beberapa pemuda yang
sedang melakukan kegiatan olahraga sepak bola. Setelah selesai dengan
kegiatanya para pemuda tersebut istirahat sejenak melepas lelah dengan
membayangkan sesuatu yang dapat menyegarkan dan enak. Lalu terfikirlah untuk
mencari tebu di lahan milik pabrik gula, karena lahannya yang luas dan tebunya
yang melimpah para pemuda tersebut tidak ambil pusing dengan niatnya tersebut .
Dengan bersemangat para pemuda tersebut mencari tebu tersebut bertujuan untuk
menyegarkan tenggorokan setelah selesai berolah raga. Namun di tengah
pencariannya para pemuda tersebut di pergoki oleh mandor lahan tebu tersebut,
padahal para pemuda tersebut hanya mengambil tidak lebih dari 10 lonjor tebu.
Namun para pemuda tersebut tetap di tangkap oleh mandor tersebut dengan tuduhan
pencurian. Lalu dibawalah pemuda tersebut ke kantor polisi untuk di proses
lebih lanjut. Para pemuda tersebut dikenai tindak pidana dengan tuduhan
pencurian dan di kenai sangsi penjara selama 7 bulan dan wajib lapor selama
satu tahun.
Dari contoh
di atas dapat dilihat bahwa hukum modern memang sangat efektif dalam
pelaksanaan peraturannya, Namun kadang terkesan tidak adil. karena kadang untuk
kasus besar yang terjadi, seperti korupsi uang Negara, suap, bahkan pengedar
narkoba, apabila pelakunya seorang yang penting (berperan) maka hukuman yang
diterima tidak terlalu berat bahkan hanya dikenai sangsi wajib lapor saja.
Namun untuk para pelaku yang hanya orang awam (orang menengah kebawah) hukuman
yang di berikan oleh hukum modern lebih tegas. Padahal biasanya pelaku yang
berasal dari masyarakat awam hanya mengurangi sangat sedikit dari suatu
kekayaan objek tertentu. Yang seperti itu adalah sebuah tindakan yang sangat
mendiskrimasi orang awam.
Pembentukan
sebuah Negara yang menggunakan hukum modern haruslah diikuti dengah penegak
hukum yang modern pula. Modern dengan arti melakukan apa yang saat ini di
lakukan dan menerapkan apa yang saat ini diterapkan. Agar terciptalah sebuah
Negara yang benar-benar menggunakan hukum modern yang baik, tepat, dan
menerapkan bahwa semua warga Negara sama di hadapan hukum. Tidak ada
diskriminasi maupun kencenderungan untuk membela siapa yang beruang.
Menurut
Drs. Satjipto Rahardjo, SH, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi
bentuk yang menjadikannya formal dan prosedural, maka sejak itu pula muncul
perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan
keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua
macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya
hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi substansial. Penggunaan
hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan
semata – mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain
selain mencapai keadilan.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,
SH , progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa manusia dasarnya
adalah baik, memiliki kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama sebagai
modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila
dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selama ini terjadi dinegara kita, yang
menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim
dan advokat. Meskipun, apabila kita berpikir jernih dan berkesinambungan tidak
sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu – satunya terdakwa
atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia. Soekanto 1979, secara konsepsional
maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai – nilai yang terjabarkan didalam kaidah – kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Pokok
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif
atau negatifnya terletak pada isi faktor – faktor tersebut.
Faktor – faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal
ini dibatasi pada undang – undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak –
pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan
dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan
dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga
merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian,
maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan
contoh – contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang – undang
Undang – undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah (Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto, 1979). Mengenai berlakunya undang – undang tersebut,
terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang – undang tersebut mempunyai
dampak yang positif.
Asas – asas tersebut
antara lain:
a) Undang –
undang tidak berlaku surut.
b) Undang –
undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi.
c)
Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
d) Undang – undang yang bersifat khusus menyampingkan undang –
undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
e) Undang – undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang –
undang yang berlaku terdahulu.
f) Undang –
undang tidak dapat diganggu gugat.
g) Undang – undang merupakan suatu sarana untuk mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui
pelestarian ataupun pembaharuan
(inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak
hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan – kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat
berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu
menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada
beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya
dari golongan sasaran atau penegak hukum. Halangan – halangan tersebut, adalah:
a) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan
pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
b) Tingkat aspirasi yang relatif belum
tinggi.
c) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan,
sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
d) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan material.
e) Kurangnya daya inovatif yang
sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Halangan – halangan tersebut dapat
diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap – sikap sebagai berikut:
a) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
b) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai
kekurangan yang ada pada saat itu.
c) Peka terhadap masalah – masalah yang terjadi disekitarnya.
d) Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai
pendiriannya.
e) Orientasi kemasa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan
suatu urutan.
f) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
g) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
h) Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi didalam
meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
i) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan
diri sendiri dan pihak lain.
j) Berpegang teguh pada keputusan – keputusan yang diambil atas
dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan
yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Sarana atau fasilitas
mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana
atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hokum menyerasikan peranan
yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas
tersebut, sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut:
a) Yang tidak ada, diadakan yang baru.
b) Yang rusak atau salah, diperbaiki
atau dibetulkan.
c) Yang kurang, ditambah.
d) Yang macet, dilancarkan.
e) Yang mundur atau merosot, dimajukan
atau ditingkatkan
4. Faktor Masyarakat
Penegakan
hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.
Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai
kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan engidentifikasikannya
dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu
akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola
perilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan
(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai – nilai yang mendasari hokum yang
berlaku, nilai – nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:
a) Nilai ketertiban dan nilai
ketentraman.
b) Nilai jasmani atau kebendaan dan
nilai rohani atau keakhlakan.
c) Nilai kelanggengan atau konservatisme
dan nilai kebaharuan atau inovatisme.
Di
Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita
menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa undang – undang, peraturan
pemerintah, perpres, hingga perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat
luas, bahkan justru secara substanstif dirasa merugikan kepentingan masyarakat
luas pada umumnya. Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan
pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan
masyarakat. Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir
semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik
terhadap sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi
serta budaya (culture) hukumnya.
Banyak
pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki uang,
kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa
membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan
terciptanya supremasi hukum di Indonesia.Salah satu hal yang perlu mendapat
sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan supremasi hukum adalah sistem
peradilan yang merupakan inti dari penegakan hukum di Indonesia. Hal lain yang
tak kalah penting adalah segala permasalahan yang ada dan terjadi didalamnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem peradilan di Indonesia saat ini penuh
dengan kebobrokan dan kebusukan berpengaruh sangat kuat pada merosotnya atau
bahkan hilangnya supremasi hukum di negara ini. Hal ini tentunya tidak bisa
dibiarkan terus terjadi begitu saja tanpa adanya usaha untuk melakukan
perubahan menuju terciptanya supremasi hukum. Oleh karena itu untuk menuju
terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja keras dari seluruh
elemen yang ada di negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi hukum bukan
hanya hak lembaga – lembaga negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang
bercirikan prinsip checks and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya,
tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam
usaha terciptanya supremasi hukum dinegara kita. Bahwasanya pentingnya budaya
hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan,
bahwa substansi dan aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum.
Dimana Lawrence M. Friedman menekankan kepada
pentingnya budaya hukum (legal culture). Karena sistem hukum tanpa budaya hukum
yang mendukungnya serupa dengan iklan di dalam baskom yang tidak bisa berenang.
Dimana kalau sistem hukumnya di umpamakan sebagai suatu pabrik, menurut
Friedman lagi, jika substansi itu adalah produk yang dihasilkan dan aparatur
adalah mesin yang menghasilkan produk, sedangkan budaya hukum adalah manusia
yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan mesin dan yang tahu memproduksi
barang apa yang dikehendakinya. Ambil contoh mengapa aparatur hukum ada yang
tidak taat hukum?. Jika kita mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah
budaya hukum (legal culture), begitu juga ruang lingkup budaya hukum, bila kita
ingin mengetahui tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi bulan – bulanan
aparat hukum.
Demikian juga hal nya, sebagaimana kita
ketahui bahwasanya dalam dunia kejaksaan diIndonesia terdapat lima norma kode
etik profesi jaksa, yaitu:
1. Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri,
berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan dilingkungannya.
2. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan
kreatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil ketiga.
3. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari
keadilan.
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif an
bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku.
5 Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan
pribadi atau golongan.
Kode etik
jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai – nilai luhur
dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya
dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa – jaksa yang memang
mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga
kehidupan peradilan di negara kita akan mengarah pada keberhasilan. Sebagai
komponen kekuasaan eksekutif dibidang penegak hukum adalah tepat jika setelah
kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya
sehingga dari perenungan ini diharapkan dapat muncul kejaksaan yang
berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan sehingga
kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai
wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum. Dan bukan
sebagai wakil orang pribadi per pribadi dalam memenuhi penggilan tugasnya.
Kejaksaan
adalah merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan
masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional
dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya
kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini.
Mengevaluasi atas kinerja yang telah dilaksanakan selama ini. Serta menunjukkan
jati diri agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Dalam situasi dan
kondisi sekarang ini dimana kejaksaan mengalami krisis kredibilitas maka sudah
sepantasnya pihak kejaksaan mewujudkan aparat hukum yang profesional dan
berintegritas guna meningkatkan citra kejaksaan.
Berbagai
institusi bahkan negara manapun pernah mengalami krisis kredibilitas, namun
yang terpenting adalah menyikapi dan menghadapinya. Apakah akan bersembunyi dan
mengaharap orang akan melupakannya? Ataukah akan berjalan terus dengan
melakukan koreksi mendasar terhadap faktor – faktor yang menyebabkan krisis
kredibilitas itu terjadi?. Sebagai pilihan, berjalan terus dengan melakukan
koreksi mendasar yang mesti dilakukan. Semangat pembauran dan koreksi mendasar
diarahkan pada perbaikan serta pembenahan institusi kejaksaan disegala bidang. Termasuk
peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan yang sinergis dengan peningkatan
integritas, guna mengoptimalkan pelaksanaan visi dan misi kejaksaan, serta
selaras pula dengan agenda reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan hukum
yang lebih baik kepada masyarakat.
Peningkatan
profesionalisme dan integritas harus dapat diwujudkan dalam setiap pelaksanaan
tugas dan wewenang dalam upaya penegakan hukum dengan memberikan hasil yang
nyata. Tidak bersifat retrorika, tetapi secara sungguh – sungguh dapat
dirasakan oleh masyarakat, secara adil, taat asas, menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan tidak diskriminatif. Dengan pelaksanaan tugas secara profesional
dan berintegritas, diharapkan dapat memulihkan citra dan kredibilitas kejaksaan
dimata masyarakat tahap demi tahap. Berbagai program kegiatan telah ditetapkan
dalam pembauran kejaksaan yang memiliku spesifikasi dan kekhususan dengan
tujuan untuk melakukan pembenahan. Baik institusional maupun sumber daya
manusia. Salah satu yang diprioritaskan adalah pengembangan dan pembinaan
sumber daya manusia agar dapat mewujudkan aparatur kejaksaan yang profesional
dan berintegritas.
Pengembangan
dan pembinaan sumber daya manusia kedepan diarahkan pada hal – hal yang terkait
dengan pola jenjang karir, monitoring dan sistem evaluasi. Begitu pula
peningkatan kemampuan dan keahlian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan.
Baik yang bersifat manajemen admistratif, maupun teknis pengadaan perkara.
Monitoring dan evaluasi terhadap kinerja para pejabat struktural maupun
fungsional akan dilakukan secara berkelanjutan dan dengan komitmen yang tinggi
sehingga reward dan punishment dapat diterapkan secara tegas dan tuntas. Kepada
jajaran bidang intelejen sebagai bagian dari organisasi diharapkan mampu
menghasilkan produk – produk inteljen yang bermanfaat bagi semua bidang. Kepada
jajaran bidang pidana umum agar penanganan perkara dan administrasi perkara
tindak pidana umum, mulai dari tahap penuntutan, upaya hukum, sampai dengan
eksekusi harus benar – benar diperhatikan. Pimpinan unit bersangkutan juga
harus selalu melakukan pengawasan melekat secara ketat pada tiap – tiap tahapan
dalam penaganan perkara. Begitu juga dengan peningkatan kegiatan eksaminasi
perkara secara rutin dan berkesinambungan. Penyelesaian secara segera pekara –
perkara yang penting dan menarik perhatian masyarakat . Terutama penanganan
perkara tindak tindak pidana narkotika dan psikotropika, ilegal logging,
terorisme, perbankan, ilegal mining,money loundrying, human trafficking dan
kejahatan trans – nasional lainnya.
Kepada
jajaran bidang tindak pidana khusus, keberhasilan dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi harus diikuti pula dengan penyelamatan dan pengembalian
keuangan negara secara maksimal. Bila hal tersebut belum dapat dilakukan, maka
keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi hanyalah sebatas keberhasilan yang
terfokus terhadap aspek pemidanaan saja. Penulis sebagai bagian anggota dari
masyarakat sadar hukum berharap secara positif, di dalam mengemban profesi,
usaha – usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur –
unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang
sesungguhnya benar – benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga
didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosiologis. Memang
tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari
sanubari anggota masyarakat secara mayoritas.
Disamping masyarakat Indonesia yang heterogen,
kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya
normal. Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau
keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangkat hukum yang
ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu
sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Disinilah maka penegakan hukum
itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak
hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis
yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum.
Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan
memenuhi tujuan – tujuan yang dikandungnya.
Sebagai warga negara yang mengemban kewajiban
dan hak dinegara ini, saya berharap mengenai profesionalisme seorang jaksa
seungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan diatas,
bahwa antara lain ditangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau
otoritas yang dimilikinya.
Sistem hukum yang modern adalah sistem
hukum yang mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, sesuai dengan kondisi
masyarakat yang di aturnya, di buat sesuai dengan prosedur yang di tentukan.
Sehingga hukum itu dapat di mengerti oleh masyarakat.
Ciri-ciri hukum modern antara lain :
1. Jujur, tepat waktu, efisiensi,
orientasi ke masa depan, produktif;
2. Terdiri atas peraturan yang isi dan
pelaksanaannya seragam;
3. Sistem hukum yang transaksional, hak
dan kewajiban dalam perjanjian tidak mamandang usia, kelas, agama, dan jenis
kelamin;
4. Bersifat universal dan di laksanakan
secara umum;
5.
Hierarkis yang tegas;
6. Melaksanakan hukum sesuai dengan
prosedur;
7.
Rasional;
8. Di laksanakan oleh orang yang
bepengalaman;
9. Spesialisasi dan di adakan penghubung
antara bagian-bagiannya;
10. Hukum mudah berubah sesuai dengan
perkembangan masyarakat;
11. Penegak Hukum dan lembaga pelaksana
hukum adalah lembaga keneagraan;
12. Perbedaan yang tegas diantara tiga
lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Menurut
Paul Scholten, sistem hukum modern merupakan semua peraturan yang saling
berhubungan, yang satu di tetapkan oleh yang lain. Peraturan tersebut dapat di
susun secara rasional dan bagi uang bersifat khusus dapat di carikan aturan
umumnya sehingga sampai pada asasnya yang mendasar.
Komponen sistem hukum modern adalah :
Unsur struktural: bagian-bagian dari
sistem hukum yang bergerak dalam mekanisme tertentu;
Unsur substansi: hasil nyata yang di
terbitkan oleh sistem hukum berupa :
a. Hukum inconcreto , yaitu kaidah hukum individual, seperti
pengadilan menghukum terpidana.
b. Hukum aiabstracto, yaitu kaidah hukum
umum, seperti KUHP tentang pencurian.
3. Unsur budaya: sikap tindak masyarakat beserta nilai-nilai yang
di anutnya, jalinan nilai sosial berkaitan dengan hukum beserta sikap tindak
yang mempengaruhi hukum.
Teori hukum
merupakan suatu proses atau aktifitas kegiatan yang bertujuan untuk memberikan
suatu penjelasan mengenai realitas maupun tatanan-tatanan hukum yang hidup dan
berkembang dalam satu kesatuan masyarakat pada umumnya. Teori hukum ini juga
merupakan suatu kajian teoritik di bidang ilmu hukum yang wujudnya berupa suatu
keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual
aturan-aturan maupun putusan-putusan yang lahir dari hukum itu sendiri.
Beberapa teori hukum yang ada dan berkembang dalam masyarakat diantaranya
adalah:
a. Teori Hukum Klasik.
Teori ini merupakan suatu konsep hukum
yang bersumber dari religiusitas, alam dan adat kebiasaan dari suatu masyarakat
yang telah ada dan berlaku sejak dimulainya suatu kehiduapan masyarakat sampai
sekarang. Prinsip dari teori ini mangatakan bahwa hukum merupakan seperangkat
norma moral dan norma sosial yang berfungsi sebagai pengarah, sebagai control
dan merupakan ukuran terhadap perilaku manusi yang orientasinya adalah
keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
Teori hukum klasik ini terdiri atas tiga
bagian yakni :
1. Hukum agama
Teori hukum ini bersumber dari sang
pencipta untuk seluruh umat manusia yang bersifat abadi dan berlaku secara
universal. Teori ini melettakan hukum sebagai suatu kesatuan stabilitas dan
dinamika yang menyangkut kehidupan dunia akhirat yang mengakomodasi suatu
keadaan baik keadaan normal maupun darurat. Konsep dari teori ini berorientasi
bukan hanya pada kehidupan duniawi saja tetapi lebih kepada kehidupan akhirat.
2. Hukum yunani-romawi
Teori ini mengatakan bahwa hukum berasal
dari dewa, maka sedapatnya dikatakan bahwa hukum itu merupakan anugrah terbesar
untuk menjaga ketertiban dan ketentraman pada manusia sebagai individu dalam
kelompok masyarakat. Teori ini mengatakan bahwa hukum dan agama merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dalam artian bahwa nabi, pastor, pendeta,
gereja dan raja merupakan sumber hukum, pembuat hukum, pelaksana hukum, serta
perangkat untuk penegakan hukum itu sendiri.
Aristoteles mengatakan bahwa hukum
merupakan pembadanan dari akal dan terbebas dari nafsu, sehingga secara tidak
langsung dapat kita katakana bahwa hukum merupakan suatu bentuk tatanan
perdamaian yang dilandaskan pada keadilan yang memerintahkan orang untuk
menahan diri dan menyerahkan penyelesaian sengketa kepada hakim. sehingga tanpa
hukum pun keadilan dapat diperoleh baik itu keadilan yang bersifat distributive
maupun keadilan yang bersifat korektif.
3. Hukum alam
Teori hukum alam mengatakan bahwa dasar
dari hukum adalah alam dan inti dari alam itu terletak pada akal tetapi akal
tertinggi dan paling utama adalah tuhan sehingga tatanan hukum itu bersifat
abadi dan berlaku sacara universal. Hukum yang bersumber dari alam tersebut
merupakan penuntun perkembangan dan pelaksanaan hukum yang paling ideal serta
sarat akan nilai moralitas yang tidak memisahkan antara das sein dengan das
solen.
Metode untuk menemukan hukum yang
sempurnah menurut teori ini harus berisi asas-asas yang absolut yaitu hak asasi
manusia sebagai makhluk individu. Menurut Thomas Aquinas, hukum dunia harus diatur
dengan tatanan akal dan harus berketuhanan sehingga tuhan merupakan hukum yang
tertinggi, dan untuk mencapai keadilan distributive dan komutatif maka hukum
yang dibuat harus memuat 4 unsur yakni:
– Lex aeterna yakni hukum yang bersumber
dari tuhan dan tujuanya untuk mengatur kehidupan alam semesta
– Lex naturals yakni hukum itu harus
memuat dan berisi tentangg insting mempertahankan hidup, berkeluarga, mengenal
tuhan, yang kemudian dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat.
– Lex divina yakni hukum merupakan
bentuk penjabaran dari lex aeterna yang tercantum dalam perjanjian lama dan
perjanjian baru (kitab perjanjian lama dan kitab perjanjian baru).
– Lex humana yakni hukum yang dibuat
oleh manusia sabagai bentuk perwujudan dan pengaplikasian dari ketiga unsure
tersebut diatas.
b. Teori Hukum Modern .
Teori hukum modern mengatakan bahwa
hukum merupakan suatu norma yang dibuat oleh manusia dan lahir dari sebuah
kesepakatan-kesepakatan antara manusia dalam sebuah bentuk musyawarah untuk
mufakat yang diproses secara otonom, logis-rasional, secara mekanis dan
teratur. Teori hukum modern ini merupakan bagian terkecil dari teori of law
sehingga kajiannya menyangkut teori hukum atau doktrin hukum yang aturan-aturan
hukumnya dipositifkan atau dikodifikasikan melalui kesepakatan legislative
secara sistematis dan mekanis sehingga melahirkan suatu tatanan hukum yang
positivistik berbasis pada peraturan yang berlaku secara netral yang juga
merupakan ius constitutum .
Mengingat bahwa teori hukum modern
merupakan bagian terkecil dari teori hukum, secara tidak langsung teori ini
bersifat positivisme. Pada perkembanganya teori hukum modern ini mengalangi
perbedaan pandangan sebagai akibat bahwa teori ini semula berotientasi pada
dominasi qalbu atas akal, berbalik menjadi dominasi akal atas kalbu sehingga
pada perkembanganya teori ini diklasifikasikan menjadi 2 golongan yakni :
1. Positivisme analitis.
Pada dasarnya paham ini mempunyai
kesamaan dengan teori kedaulatan yang dikemukakan oleh John Austin bahwa hukum
bersal dari kehidupan yang berdaulat yakni individu, lembaga atau sekumpulan
individu yang mempunyai kapasitas untuk membentuk hukum. Paham positivisme
analitis ini disamping menempatkan konsentrasinya pada bentuk norma hukum juga
berkonsentrasi pada isi norma itu sendiri dan terpisahkan dari moralitas dan
keadilan. Positivisme analitis juga mengatakan bahwa peraturan tidak boleh
berisi tuntutan yang tidak boleh melebihi apa yang dapat dilakukan, sehingga
apabila peraturan itu di buat harus di susun dalam rumusan yang mudah
dimengerti dan pelaksanaanya harus di sesuaikan dengan realitas empirisnya.
2. Positivisme pragmatis.
Tipe positivisme pragmatis mengatakan
bahwa hukum harus mampu mempu memuaskan keinginan secara maksimal sehingga
kebenaran hukum dapat ditentukan oleh fakta sosial, supaya terwujud kepastian,
keadilan, kemanfaatan hukum.
c. Perbedaan Teori Hukum Klasik dan
Teori Hukum Modern
Dari kedua teori hukum diatas, maka
jelas sekali bahwa kedua teori tersebut mempunya karakter yang berbeda, baik
dari pembentukan hukum, maupun sumber hukum yang kemudian ditetapkan sebagai
suatu tatanan hukum yang berlaku dalam sebuah tatanan kehidupan dalam
bermasyarakat.
Teori hukum klasik menetapkan hukum
sebagai suatu aturan yang bersumber dari Tuhan atau Dewa sehingga penerapan
hukumnya tidak hanya di titik beratkan pada tercapainya kedamaian di dunia
saja, tetapi juga pada aspek akhirat. Karena mengingat bahwa hukum bersumber
dari Tuhan maka dapat dipastikan bahwa hukum tersebut bersifat pasti dan utuh
sebab kebenaran yang hakiki adalah bersumber dari Tuhan.
Sedangkan teori hukum modern menetapkan
hukum dengan jalan menetapkan suatu norma yang dibuat oleh manusia melalui
musyawarah untuk mufakat dan norma-norma tersebut kemudian dijadikan hukum
positif dan dikodifikasi sebagai suatu aturan yang berlaku dan mengikat suatu
tatanan masyarakat ius constitutum yang orientasinya hanya untuk menciptakan
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
B.Konsep Sosiologi Hukum
Di dalam
masyarakat modern, biasanya petugas penegakan adalah pengadilan dari salah satu
instansi negara tertentu, yang bilamana perlu bisa minta bantuan kekuasaan
polisi lebih lanjut untuk memaksakan keputusan- keputusannya. Adanya hukum yang
dijamin, timbul karena kemungkinan
saat kelompok akan mengajukan protes bila ada
pelanggaran, terhadap suatu aturan yang kemudian akan menghasilkan suatu keputusan
dari suatu badan resmi yang wewenang hukumnya untuk mengambil keputusan dalam
kasus-kasus demikian cukup dihormati dalam masyarakat sehingga keputusannya
akan dihormati.
Dewasa ini
pemaksaan hukum melalui kekerasan menjadi monopoli negara. Suatu hak dalam
kerangka negara dijamin oleh kekuasaan pemaksa dari otoritas pejabat-pejabat
politik. Pemaksaan hak dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat pemaksa
komonitas politik sering kali hasilnya buruk dibanding dengan kekerasan pemaksa
lainnya, misalnya : agama.
Menurut
Weber tidak semua hukum yang efektif dalam masyarakat adalah hukum negara, ada
juga yang bukan hukum negara, sebagai contoh hukum agama yang seringkali lebih besar
pengaruhnya terhadap individu dibanding dengan hukum yang ditegakkan oleh
kekuasaan politik. Anggapan bahwa negara hanyalah ada jika alat-alat pemaksa komonitas
politiknya unggul diatas semua alat-alat lainnya, adalah anti sosiologi. Hukum
gerejani masih merupakan hukum, juga jika ia berbenturan dengan hukum negara
sekalipun.Di dalam komonitas modern hukum dijamin oleh seorang hakim atau suatu
lembaga lain yang merupakan wasit yang tidak memihak dan tidak berkepentingan
dibandingkan dengan orang yang biasa dinilai sebagai mempunyai hubungan khusus
dengan salah satu pihak.
Hukum,
konvensi atau kebiasaan, menurut Weber tergolong kedalam sesuatu yang
berkelanjutan dengan peralihan-peralihan kecil yang menuju dari yang satu
kepada yang lain. Kebiasaan sebagai kegiatan seragam tertentu yang terus
berlangsung hanya karena orang sudah terbiasa karenanya dan terus menyatakannya
berdasarkan peniruan tanpa berpikir. Konvensi dikatakan ada jika tingkah laku
tertentu diusahakan supaya bisa berlaku, tetapi tanpa menggunakan pemaksaan
apapun baik pisik maupun psikologis. Kebiasaan
berbeda dari pada hukum karena :
1. Tidak ada persyaratan normatif untuk
menaati tipe aktifitas.
2. Tidak ada alat untuk menegakkannya.
Sedangkan perbedaan antara hukum dan
konvensi yaitu suatu tipe aktifitas uniforn yang berbeda dari kebiasaan disyaratkan
secara normatif, akan tetapi tidak ditegakkan oleh
suatu alat khusus. Hukum formal hanyalah
merupakan satu faktor saja yang menentukan suatu tata sisoal medern, meskipun
sifatnya sangat khas.
1.Pengaruh Ide-Ide: Peranan Ahli-Ahli Hukum
Untuk
membentukan pendidikan hukum profesional yang berfikir spesifik hukum, terdapaT kemungkinan
dua jalur yang berbeda. Yang pertama berupa pendidikan empiris dalam hukum
sebagai suatu keterampilan, dengan cara magang untuk belajar dari praktuisi
sambil melakukan praktek hukum yang sesungguhnya. Sedangkan yang kedua, hukum
diajarkan disekolah yang khusus, dimana tekanannya diberikan pada teori hukum
dan
ilmu pengetahuan, artinya fenomena hukum
diperlakukan secara rasional dan sistimatis. Tipe pertama diatas, diberikan
oleh metode Inggris yang mirip kumpulan pengrajin dimana hukum diajarkan oleh
ahli-ahli hukum.Dalam pengadilan-pengadilan di Inggris para pengacara selalu
diambil dari kalangan orang-orang yang biasa menulis yaitu dari ulama-ulama dan
merupakan penghasilan utama mereka, sedangkan tipe kedua merupakan tipe yang
paling murni dengan melalui cara pendidikan hukum di universitas-universitas,
dan hanya lulusan-lulusan ini yang diperbolehkan melakukan praktek hukum dan
akhirnya universitas-universitas yang menikmati monopoli atas pendidikan hukum.
Suatu tipe
pendidikan hukum rasional yang sangat khas, walaupun tidak formal, yuridis,
dalam bentuknya yang paling murni digambarkan dalam pengajaran hukum dalam
seminari-seminari untuk pendidikan pastor atau sekolah-sekolah hukum yang
berkaitan dengan seminari-seminari itu.
2. Pembentukan Hukum Rasional Secara
Historis:
Pengaruh
Bentuk Otoritas PolitikPembentukan hukun nasional secara historis dapat
dibedakan
menjadi empat fase :
1. Disingkirkannya secara tahab demi tahab acara-acara hukum
primitif oleh otoritas politis dan keagamaan.
2. Pengaruh organisasi otoritas politik atas hukum.
3. Rasionalisasi hukum dan administrasi oleh penguasa politik demi
kemajuan kepentingan-kepentingan administrasi mereka sendiri demi kepentingan
komersial dari golongan
borjuasi yang sedang muncul.
4. kodifikasi hukum secara sistimatis oleh ahli-ahli hukum yang
berpendidikan universitas.
Prosedur hukum yang primitif menurut
Weber ada tiga macam acara hukum yang orisinil, yaitu :
1. Ada peradilan kecil keagamaan, yang
dipergunakan oleh komunitas yang merasa dirinya terancam oleh bahaya-bahaya
magis sebagai akibat perilaku anggotanya.
2. Ada tata cara perdamaian antara kelompok-kelompok
yang bertali persaudaraan.
3. Ada arbitrase dalam pertikaian oleh
kepala rumah tangga,yang tidak diikat oleh batasan-batasan resmi atau
prinsip-prinsip resmi.
Rasionalisasi cara berpikir menurut
hukum dan hubungan-hubungan sosial yang dimulai oleh doktrin hukum kaum agama
dapat mengambil dua bentuk :
1. Pemisahan hukum suci dari hukum
sekunder untuk penyelesaian konflik-konflik antar manusia yang tidak ada
sangkut paut keagamaan.
2. Kombinasi teakratis dari
ketentuan-ketentuan keagamaan dan ritualistis dengan aturan-aturan hukum.
Di India segolongan ulama yang dominan
mampu untuk mengatur keseluruhan bidang kehidupan secara ritualistis, dengan demikian
mampu mengendalikan seluruh sistem hukum secara sangat luas.Dalam negara-negara
Islam setidak-tidaknya dalam teori tidak ada satu bidang kehidupanpun dalam
mana hukum sekular dapat terbentuk secara mandiri terlepas dari nama-nama suci.
Menurut Weber ada dua bentuk otoritas
politik tradisional, yaitu :
1. Otoritas yang patriarkal dan
variasi-variasi feodel dari patrimonalisme.
2. Variasi-variasi feodel dari
patrimonial.
Bentuk
paling murni dari otoritas tradisional digambarkan oleh pemerintahan patriarkal
oleh kepala suatu rumah tangga atas anggota-anggotanya. Tipe ideal dari
peradilan patriarkal yang informal yang bertujuan untuk mendapatkan
penyelesaian perkara-perkara secara adil yang material adalah peradilan kadi. Kadi
adalah sebutan bagi seorang hakim di negara-negara Islam, yaitu wakil gubernur
setempat yang menjalankan peradilan, berdasarkan adat setempat atau hukum
Islam. Peradilan Kadi menentang sistem peradilan modern yang rasional secara
formal berdasarkan penataan aturan-aturan hukum dengan secara sangat patuh.
Beberapa
ciri Peradilan Kadi, akan membedakannya dari sistem peradilan rasional formal
yaitu :
1. Kebijakan yang memiliki kwalitas
karismatik lebih penting artinya dari pada ekspertise hukum yang formal.
2. Bukti dari fakta-fakta tidak diatur
secara prosedural, tetapi diserahkan kepada kebijakan hakim.
3. Perkara yang diputuskan tidak
berdasarkan aturan-aturan formal.
4. Keputusan dicapai tidak melalui
berpikir secara formal, tetapi secara intuitif.
5. Terdapat suatu pembauran antara
aktifitas-aktifitas administratif dan aktifitas-aktifitas peradilan.
Sedangkan sistem peradilan patrimonial
rasionalisasi, seperti di Inggris, raja lebih senang menggunakan juri dari pada
bertempur untuk keadilan dan cara-cara pembuktian irrasional
lainnya yang tidak dapat diterima oleh
kaum borjuis. Pada mulanya peradilan patrimonial harus bersaing dengan
peradilan lokal dari komunikasi.Bentuk-bentuk kuno dari peradilan rakyat
berasal dari tata cara peradamaian antara kelompok-kelompok kekeluargaan. Irrasional
formalistik dari peradilan bentuk-bentuk lama ini telah dihapuskan dibawah dampak
kekuasaan dua pangeran atau magistrat-magistrat atau dalam keadaan tertentu
oleh organisasi
ulama. Semakin rasional wewenang yang
mengelola administrasi para pangeran atau pemimpin agama, makin luas digunakan pejabat
administratif dalam melaksanakan kekuasaannya.Dengan peningkatan rasionalitas
dari organisasi otoritas, maka bentuk-bentuk prosedur yang irrasional akan
hilang, terjadi sisteminasi hukum material, artinya hukum sebagai satu keseluruhan
telah dirasionalkan.Kepentingan para pejabat, dunia usaha kaum borjuis dan
monarki dalam tujuan fiskal dan administratif merupakan faktor pendorong
terjadinya kodifikasi. Kodifikasi hukum yang sistematis bisa merupakan hasil
dari suatu orientasi kembali kehidupan hukum secara sadar dan universal.
Pencatatan hukum secara sistematis bisa juga terjadi demi kepentingan keamanan hukum
sesudah terjadi konflik sosial.
3. Hukum dan Otoritas : Administrasi
Yang diatur Dengan Aturan Rasional
Kesahihan
suatu kekauasaan untuk memerintah dapat dinyatakan pertama, dalam sutu sistem
peraturan-peraturan rasional yang dibentuk secara sadar, yang ditaati sebagai
norma-norma yang mengikat secara umum. Akan tetapi kesahihan kekuasaan untuk
memerintah dapat juga bersandar kepada otoritas pribadi.Otoritas diatas dirumuskan
sebagai kemungkinan bahwa pemisah-pemisah khusus tertentu dari sumber akan
ditaati oleh kelompok orang-orang tertentu. Biasanya otoritas kegiatan sejumlah
besar orang memerlukan adanya kontrol oleh sekelompok orang. Ada tiga tipe
murni yang sah, kesahihan tuntutan-tuntutan mereka akan legitimasi dapat
bersandar pada :
1. Alasan-alasan rasional, yaitu
berdasarkan atas kepercayaan dalam legalitas pola-pola aturan normatif
(otoritas berdasarkan hukum).
2. Alasan-alasan tradisional, yaitu
bersandar kepada kepercayaan yang muncul mengenai kesucian tradisi-tradisi
(otoritas tradisional).
3. Alasan-alasan karismatik, yaitu
bersandar pada kesetiaan kepada kesucian yang khusus dan luar biasa, heroisme,atau
watak seseorang yang patut dijadikan contoh (otoritas karismatik).
Dalam hal otoritas berdasarkan hukum
ketaatan diwajibkan terhadap tata tertip bukan perorangan yang ditegakkan
secara hukum.Berlakunya hukum berdasarkan pada diterimanya
kesahihan gagasan-gagasan yang saling
tergantung, sebagai berikut :
1. Setiap norma-norma hukum bisa dibuat
melalui persetujuan atau pemaksaan. 2. Setiap badan hukum pada hakekatnya
terdiri dari satu sistem konsisten dari peraturan-peraturan abstrak yang dibuat
dengan sengaja.
3. Orang yang tipikal memiliki otoritas
itu menduduki suatu jabatan.
4. Orang yang menaati suatu otoritas,
berbuat demikian secara anggota kelompok perhimpunan yang ditaatinya hanyalah
hukumnya.
5. Anggota-anggota kelompok perhimpunan
sepanjang mereka menaati seorang yang memiliki otoritas, tidak wajib taat
kepadanya sebagai seorang individu melainkan tata kepada tata tertib yang bukan
perseorangan.
Adapun kategori-kategori fundamental
dari otoritas menurut hukum yang rasional adalah sebagai berikut :
1. Suatu organisasi berkesinambungan
dari fungsi-fungsi resmi yang dilihat oleh aturan-aturan.
2. Suatu lingkungan yang kompetensi yang
khusus.
3. Pengorganisasian jabatan-jabatan
mengikuti prinsip hirarki.
4. Peraturan-peraturan yang mengatur
tingkah laku suatu jabatan mungkin berupa peraturan-peraturan teknis atau norma-norma.
5. Dalam tipe rasional adalah soal
penting bahwa anggota-anggota staf administratif sepenuhnya harus dipisahkan dari
pemilik alat-alat produksi atau administratif.
6. Dalam kasus tipe rasional juga
terdapat ketiadaan cara memperoleh posisi jabatan oleh orang yang sedang menjabat.
7. Tindakan keputusan dan peraturan
administratif dirumuskan dan dicatat dalam tulisan.
8. Mereka digaji dengan bayaran tetap
dalam uang, untuk sebagian terbesar dengan mempunyai hak pensiun.
9. Jabatan itu diperlakukan sebagai
satu-satunya, atau setidak-tidaknya pekerjaan utama dari pemegangnya.
10. Jabatan merupakan suatu karier.
11. Pejabat tunduk pada disiplin yang
ketat dan sistematis serta pengawasan pengawasan dalam melaksanakan jabatannya.
12. Otoritas birokrasi diterapkan dalam
bentuknya yang paling murni.
13. Pengangkatan melalui kontrol bebas
yang memungkinkan adanya seleksi bebas, adalah soal pokok bagi demokrasi
modern.
Tipe
administrasi menurut hukum yang rasional sanggup
untuk
dipekerjakan dalam segala macam situasi dan konteks. Sumber utama dari
superioritas administrasi birokrasi terletak dalam penerapan pengetahuan
tehnik. Birokrasi merupakan
sarana yang
paling tepat untuk mengubah kegiatan komunitas menjadi kegiatan organisasi
sosial yang disusun secara rasional. Administrasi birokrasi pada dasarnya
berarti melakukan pengawasan atas dasar pengetahuan tentang fakta konkrit dalam
lingkungan kepentingan sendiri. Semangat birokrasi rasional secara normal
memiliki sifat-sifat umum yaitu :
1.
Formalisme, yang diinginkan semua kepentingan yang berhubungan dengan pengamanan
keadaan pribadi mereka sendiri, apapun isinya.
2. Ada
suatu kecendrungan lain, yang nampaknya bertentangan dengan hal tersebut
diatas, suatu kontradiksi yang untuk sebagian memang benar.
4. Sistem Peradilan Rasional
Menurut
Weber ada dua macam hubungan antara birokrasi dengan sistem peradilan, yaitu :
1.
Birokrasi sebagai sesuatu bentuk organisasi dari kegiatan resmi dapat juga
diterapkan kepada peradilan.
2. Organisasi birokrasi semacam itu dari
sistem peradilan memciptakan suatu landasan bagi realisasi suatu lembaga hukum
yang rasional yang dirasionaliasasi secara konseptual.Birokrasi memberikan sistem
peradilan suatu landasan untuk mewujudkan suatu lembaga hukum rasional yang disistematisasi
secara konseptual atas dasar undang-undang. Peradilan rasional atas dasar
konsep-konsep hukum formal yang ketat harus dihadapkan kepada tipe peradilan
yang terutama dituntun oleh tradisi-tradisi suci, tanpa menemukan di dalamnya suatu
landasan yang jelas untuk mengambil keputusan atas kasus-kasus yang konkrit.
5. Modal Hukum Rasional Yang Formal dan
Kritiknya
Meskipun
hukum rasional suatu fenomena berkultural yang memiliki arti penting secara
universal, yaitu tidak hanya baik untuk Barat, tetapi juga baik untuk
masyarakat-masyarakat modern pada umumnya, namum pada waktu yang sama, fenomena
kultural dari hukum rasional merupakan prestasi tidak stabil dan sangat tidak
pasti.Jadi meskipun hukum rasional yang formal mempunyai arti universal bagi
masyarakat-masyarakat modern pada umumnya, namun eksistensinya, belum ada,
pemunculannya menuju ke eksistensi sama sekali belum pasti. Model hukum
rasional formal, seperti yang telah muncul di Barat juga telah menjumpai kritik
yang makin mengikat dalam kepustakaan ilmu sosial yang membahas hukum dan
organisasi formal. Suatu asumsi mengenai hukum rasional adalah bahwa kekuasaan
yang bijak akan dikendalikan yang menundukkannya kepada aturan-aturan. Dalam
masyarakat modern dihadapkan pada jenis-jenis hukum yang efektifitasnya tidak
bergantung kepada diturutinya hukum tersebut secara harfiah, melainkan
disesuaikan kepada jiwa dan tujuan nya.
Birokrasi
menurut Weber paling cocok bagi administrasi rutin, akan tetapi dalam kondisi-kondisi
yang ditimbulkan oleh perubahan sosial permanen, maka makin sedikitlah
tugas-tugas yang dapat ditangani secara rutin. Dan makin lama makin disadari bahwa
organisasi birokrasi memiliki kekurangan-kekurangan teknis yang mendasar. Hukum
sering kali bukannya memajukan stabilitas dan kepastian, malahan justru mengakibatkan
ketidakstabilan dan ketidak pastian. Hukum diartikan dalam konteks suatu
oposisi
antara
masyarakat, sebagai tempat asli dari kehidupan sosial dan negara sebagai
kekuasaan politik yang terorganisasi dengan segala kepentingannya yang bertindak
diatas kehidupan sosial, jadi hukum berperan sebagai pedang negara yang
membelah dan memisah kebiasaan.
Efek-efek
yang merusak dari hukum formal ini paling kuat terdapat dalam daerah-daerah
jajahan. Sesungguhnya pemerintahan pribumi adalah bentuk pemerintahan yang disukai
oleh rakyat, dan melakukan apa yang mereka inginkan dengan cara yang mereka
mengerti.Dominasi kolonial melambangkan hukum yang represif yang tidak mengabdi
kepada kepentingan rakyat yang dijajah. Dari kritik diatas hukum rasional yang
formil ini, dapat disimpulkan bahwa, hukum formal tidak berarti sudah mencakup
segala galanya namun demikian formal sangat berharga.
Lahirnya hukum modern, yang pertama
terbentuk di Eropa Barat, menurut Weber adalah merupakan konsep hukum modern,
yang menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Aturan-aturan hukum memiliki suatu
kwalitas “normatif ” yang umum dan kurang lebih abstrak.
2. Hukum modern adalah hukum “positif”
hasil keputusan-keputusan yang diambil secara sadar.
3. Hukum modern diperkuat oleh kekuasaan
yang memaksa dari negara dalam bentuk sanksi yang diberikan dengan sengaja.
4. Hukum modern adalah “Sistematis”
aturan-aturannya, prinsip-prinsipnya konsep-konsep dan dokrin-dokrinnya yang
berbeda-beda.
5. Hukum modern adalah “Sekuler”
substansinya sama sekali terpisah dari pertimbangan-pertimbangan keagamaan dan
etis.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inkonsistensi
penegakan hukum diatas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun.
Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in
the book. Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus
segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan
membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi
masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola
kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian
konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka diluar
jalur.
Cara ini
membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkosistensi
penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu
berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya
rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia.
Penegakan hukum yang konsisten harus terus di upayakan untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
B. SARAN
Berikut
saran yang saya berikan dalam upaya mengembalikan citra penegakan hukum dimata
masyarakat yaitu dengan melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum
yang ada dengan cara:
1. Struktur, terkait dengan struktur hukum maka perlu dilakukan
penataan terhadap institusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan,
kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan
penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap
lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait
dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi
lembaga penegak hukum.
2 Substansi, dalam hal substansi sistem hukum perlu segera
direvisi berbagai perangkat peraturan perundang – undangan yang menunjang
proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang – undangan
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana) proses
revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini
dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi
masyarakat saat ini.
3.
Legal culture, untuk budaya hukum perlu dikembangkan perilaku taat dan patuh
terhadap hukum yang dimulai dari atas. Artinya apabila para pemimpin dan aparat
penegak hukum berperilaku taat dan patuh terhadap hukum, dengan hal tersebut
maka akan menjadi teladan bagi rakyat.
Sangat membantu👍👍
BalasHapus