Halaman

Selasa, 25 Desember 2018

TUGAS UTS SOSIOLOGI AGAMA

JURUSAN : SOSIOLOGI
TUGAS UTS SOSIOLOGI AGAMA

1. Jelaskan Konsep Sosiologi Agama!
Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Sosiologi agama secara khusus memfokuskan pada kajian masyaraka

t beragama, bukan kebenaran ajaran agamanya. Agama yang dimaksud dalam sosiologi adalah agama dalam perwujudan dan tindakan manusia. Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi ketuhanan (supranatural), maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut yang berbeda. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya, ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar-dasar haluan Negara, memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial, seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya.
Dalam teologi agama selalu mengawali kajiannya mengenai kepercayaan kepda Tuhan, dan berusaha melaksanakan berbagai ajaran dari keyakinan itu dalam kehidupan sehari-hari. Sementara ahli sosiologi agama, mungkin menganut agama tertentu. Data yang dikerjakannya mungkin diperoleh dari salah satu agama atau dari banyak agama, dari agamanya sendiri atau dari agama yang sama sekali berbeda dengan agamanya. Mungkin ia bekerja dalam lingkup yang sempit, penelitian sekte atau berusaha mengembangkan teori tentang agama dan masyarakat, kemudian menemukan setiap jenis dan corak gejala keagamaan yang dapat digunakan sesuai dengan keinginannya Memahami makna yang diberikan oleh masyarakat tertentu pada sistem agamanya sendiri. Meneliti hubungan agama denga struktur sosial, dan hubungan agama dengan aspek budaya bukan agama, seperti magis, sains dan teknologi. Sosiologi agama menyelami alam pikiran penganut agama yang dikajinya tanpa harus mengidentifikasi dirinya dengan agama yang dikajinya.
Sebagai usaha mengadakan suatu analisis yang memakai metode kajian ilmiah, sosiologi dituntut untuk memakai pendekatan yang bersifat empirik. Para ilmuwan sosial sepakat agar semua pernyataan yang diklaim sebagai kebenaran ilmiah tunduk pada pengujian yang cermat dan didukung oleh fakta yang diperoleh melalui pengamatan terhadap alam fisikal. Kebenaran itu dikatakan sahih dalam arti ilmiah, bukan karena ia mempunyai alasan yang secara intuitif masuk akal (rasional). atau karena disampaikan oleh satu atau sekelompok orang yang terhormat atau memiliki otoritas (karisma dan berkuasa)Kebenaran dikatakan valid jika sesuai dengan fakta-fakta yang {valid juga. ‘

Ahli sosiologi agama dapat memilih berbagai metode dalam melaksanakan kajiannya sehingga metode yang dipilihnya akan disesuaikan dengan prosedur, alat, dan desain penelitian yang digunakan. Desain penelitian harus sesuai dengan metode yang dipilih, begitu juga prosedur dan alat yang digunakan. Dalam penelitian sosiologi agama, biasanya dipakai tiga bentuk metode penelitian; yaitu deskriptif, komparatif dan eksperimental. Pilihan metode penelitian berhubungan dengan desain penelitian yang dipergunakan oleh sosiolog. Oleh karena itu, metode penelitian identik dengan desain penelitian karena penentuan metode yang digunakan sangat dipengaruhi oleh desain dari peneliti yang bersangkutan.
Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah sebagai berikut :
1)      Kelompok-kelompok dan lemabaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya
2)      Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses social yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual
3)      Konflik antar kelompok, misalnya Katolik lawan Protestan, Kristen dengan Islam dan sebagainya. Bagi sosiolog, kepercayaan hanyalah salah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya.
2. Bagaimana Pendapat Auguste Comte Tentang Agama?
Auguste Comte (1798-1857) tercatat sebagai pencipta teori “tiga fase/tingkatan” dalam memaknai kesadaran keagamaan atau perkembangan pemikiran manusia, yaitu: fase teologis, metafisik, dan positif.7 Fase teologis (disebut juga fase fiktif) merupakan fase pemikiran yang menganggap semua realitas diciptakan oleh zat adikodrati atau kekuatan ghaib. Fase ini diibaratkan dengan perkembangan kesadaran dan pemikiran anak-anak. Fase teologis ini dibagi kepada tiga tingkatan.
Pertama, kepercayaan terhadap kekuatan jimat (fetishism). Di tingkat ini, manusia membayangkan semua benda berada di luar dirinya dan dihidupkan oleh kekuatan adikotati yang sama dengan kekuatan adikodrati yang menghidupkan dirinya, perbedaannya hanya intensitasnya saja. Menurut Comte, tingkat kepercayaan terhadap jimat ini berhubungan erat dengan tatanan kehidupan masyarakat nomaden yang perilakunya lebih didasarkan atas mitos dan kepura-puraan daripada akal sehat. Kedua, fase kepercayaan terhadap banyak tuhan (politheism) yang dihubungkannya dengan kehidupan kota, sistem kasta, kepemilikan tanah, institusi sosial, dan perang yang dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menciptakan kehidupan politik yang langgeng dan progressif. Hal itu terjadi oleh karena perkembangan sistem kehidupan masyarakat secara menetap. Ketiga, fase kepercayaan terhadap keesaan Tuhan (monotheism), digunakan dengan modifikasi fase teologis dengan sistem kemiliteran. Fase ini dianalogikan dengan organisasi militer dan organisasi sosial keagamaan. Selanjutnya, fase metafisik merupakan fase lanjutan sebagai dampak dari perubahan/perkembangan kesadaran dan pemikiran keagamaan selama fase teologis. Fase metafisik mengasumsikan bahwa pikiran bukanlah ciptaan adikodrati/khayali, akan tetapi ciptaan “kekuatan abstrak” atau entitas-entitas nyata dari sesuatu yang benar￾benar dianggap ada yang melekat di dalam diri manusia dan mampu menciptakan semua fenomena yang menggantikan kekuatan ghaib. Hukum abstrak menjadi alat penjelas suatu fenomena. Misalnya, hukum alam (natural law) menjadi faktor penyebab mendasar dari alam semesta. Fase metafisik ini biasanya diidentikkannya dengan organisasi demokratis-egalitarian, layaknya fase perkembangan masa remaja. Akhirnya, fase positif, fase di mana manusia tidak lagi mencari ide-ide absolut, asli, penentu takdir alam semesta, dan penyebab fenomena, akan tetapi menelusuri hukum-hukum alam yang menentukan fenomena dengan cara menemukan rangkaian hubungan yang tidak berubah-ubah di alam semesta.Dalam fase ini, nalar (rasio) dan pengamatan (observasi) menjadi alat utama dalam mengungkap hukum alam/sosial, namun pada saat yang sama ketidakmampuan akal juga diakui tidak mampu mencapai kebenaran mutlak. Pada fase positif ini, agama dan kemanusiaan muncul secara bersamaan, di mana sosiolog menjadi tokoh agama dan membimbing manusia dalam kehidupannya secara harmonis. Sosiolog mengajar manusia berpikir positif secara ilmiah dan menghubungkan doktrin cinta, keteraturan, dan kemajuan dengan kehidupan manusia. Manusia hidup bersama secara harmonis karena perilaku dan institusi sosial yang mereka bentuk dipimpin oleh cara berpikir positif. Fase ini dipersamakan dengan fase orang dewasa sejalan dengan meningkatnya pemahamannya secara saintifik terhadap alam semesta.
3. Apa Arti Agama Adalah Candu Yang Disampaikan Oleh Karl Marx, berikan contohnya!
Karl Marx mengatakan bahwa ‘agama adalah candu masyarakat.’‘Die Religion … ist das Opium des Volkes’ awalnya tercantum pada pembukaan tulisan Marx: A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, yang ditulis oleh Marx pada tahun 1843 dan terbit pada tahun 1844 di Paris dalam jurnal Deutsch–Französische Jahrbücher, yang dieditori oleh Marx dan Moses Hess. Pernyataan tersebut kemudian melalui beberapa proses penerjemahan dalam beberapa bahasa, dengan salah satunya yang paling sering dikenal oleh khalayak adalah dalam bahasa Inggris yakni: ‘Religion is the opium of the people’, atau dalam bahasa Indonesia -kurang lebih maknanya juga sedikit berubah- menjadi ‘Agama adalah candu masyarakat’. Kalimat utuhnya jika diterjemahkan berbunyi, “ Kesukaran agama- agama pada saat yang sama merupakan ekspresi dari kesukaran yang sebenarnya dan protes melawan kesukarann yang sebnarnya. Agama adalah nafas lega makhluk tertindas, hatinya dunia yang tidak punya hati, spirit kondisi yang tanpa spirit. Agama adalah candu masyarakat” (Marx, 1843/1970).
Menurut Marx, agama merupakan ide “Roh Absolut” yang merupakan suatu ilusi atau tipuan. Agama juga merupakan ideologi yang paling ekstrem dan nyata yang pernah ada di kehidupan manusia dan juga agama merupakan sistem kepercayaan yang merupakan kontruksi penguasa untuk menciptakan tatanan yang sesuai dengan kemauannya. Artinya agama merupakan suatu “Ide” yang sengaja diciptakan oleh manusia atau penguasa untuk mengatur manusia lainnya demi terwujudnya tatanan sosial yang diinginkan para penguasa.
Marx mengatakan bahwa agama juga merupakan bentuk kerpecayaan atau pelampiasan masyarakat yang “kalah” atau “menyerah” terhadap perjuangannya dalam membangun pondasi kehidupan. Ada yang lebih penting menurut Marx ketimbang agama, yaitu adalah pondasi kehidupan yang secara jelas terjadi pada masa itu. Pondasi kehidupan itu merupakan titik tolak dari manusia untuk terus bisa menjalani kehidupannya. Pondasi kehidupan itu adalah material dan ekonomi. Hal inilah yang tidak didapatkan oleh manusia yang berpaling ke agama ketika mereka merasa lelah dan menyerah dalam menjalankan kehidupannya di dunia untuk memenuhi kebutuhannya, lalu mereka berpasrah kepada apa yang disebut “Tuhan”. Makan secara jelas Marx mengatakan bahwa agama adalah sebuah ide yang merusak tatanan-tatanan pemikiran manusia yang sebenarnya hal itu adalah milik manusia, di mana agama pada saat itu mengatakan bahwa yang benar dan segala kebaikan itu adalah milik penguasa/ roh yang absolut “Tuhan” yang ada di dalam agama itu sendiri.
Sebenarnya Marx ingin menyampaikan bahwasannya masalah kemiskinan atau pada saat itu yang ia sebut dengan kaum “Proletar” timbul karena kapitalis yang berkembang pada saat itu. Dengan munculnya kepemilikan secara hak pribadi. Hal ini menjadikan kaum “borjuis” atau manusia-manusia yang memiliki modal menekan kaum proletar atau buruh sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengeksploitasi kaum proletar. Bahkan proletar yang sadar akan hal itu malah enggan untuk melakukan perubahan dan berpasarah diri kepada Tuhan dengan memuji Tuhan mereka dan percaya bahwa hal ini akan di balas oleh Tuhan dengan seribu kebaikan, dan hal ini merupakan takdir mereka. Tentunya hal ini menurut Marx jelas adalah doktrinisasi dari agama, agar mereka tidak kembali kepada hakikat mereka sendiri, yaitu materi.
Mengenai sebuah pertanyaan yang telah dijawab oleh Feuerbach “Kenapa manusia tidak mau memanfaatkan potensi-potensi yang ada di diri mereka dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhan?”. Feuerbach mengatakan bahwa hal itu sudah merupakan takdir manusia untuk teralienasi. Namun Marx mengatakan bahwa hal itu jelas-jelas di depan mata kita yaitu material dan ekonomi. Hal ini berarti, ketikan manusia mengenyampingkan materi dan ekonomi dikarenakan mereka telah terdoktrin dengan agama sehingga apa yang dimaksudkan dengan “mengeyampingkan” adalah mereka yang telah kalah dalam berjuang, tertekan dalam pencapaian kebutuhan ekonomi atau mereka adalah kaum-kaum terbawah yang terkesampingkan pada tatanan sosial manusia, sehingga cara satu-satunya yang tepat untuk mengatasi ini adalah dengan agama. Akhirnya manusia yang seharusnya mengembangkan potensi-potensi mereka, harus dirusak oleh agama dengan memberikan “kedamaian dan kenyamanan” di hati mereka. Hal inilah yang menurut Karl Marx manusia tidak akan menjadi penggagas perubahan ketika mereka di tekan oleh kaum-kaum penguasa.

Awalnya Marx hanya mengkritik manusia-manusia yang menjalankan agama tersebut (proletar), berdasarkan kejadian yang ia lihat pada ayahnya. Hal itu jelas merupakan pemanfaatan agama yang dilakukan oleh penguasa. Namun, setelah Marx mulai gencar dalam menuliskan pandangannya terhadap agama, maka saat itu Marx secara terang-terangan mengkritik isi atau teks-teks yang ada dalam agama tersebut.
4. Bagaimana Pendapat Emile Durkheim Tentang Agama
Dalam tulisan tulisannya yang paling dini, Durkheim  mengulas arti penting dari agama dalam masyarakat dan mengenalnya sebagai sumber orisinil dari semua gagasasan moral, filsafat, ilmu pengetahuan dan keadilan. Dasar utama yang mendasari teori yang disajikan dalam The Elementary Forms of the Religious Life  bersifat fungsional yaitu berkaitan dengan peran fungsi agama dalam masyarakat.

Durkheim menekankan bahwa tidak ada perpecahan mutlak antara solidaritas mekanis dan soliditas organis. Solidaritas organis mempraduga adanya pengaturan moral yang sama banyaknya dengan yang dipraduga oleh jenis solidaritas mekanis walaupun pengaturan itu bukanlah dalam bentuk tradisional.

1)      Sifat Dari Yang Kudus
Buku The Elementary Forms of the Religious Life harus dibaca secara genetic, dalam kaitannya dengan rentetan perubahan perubahan menonjol yang telah membuat masyarakat modern sangat berbeda dari sebelumnya. Arti penting dari pengertian Durkheim  mengenai penelitian agama bahwa adanya kesinambungan antara bentuk bentuk masyarakat tradisional dan masyarakat modern, agar bisa memahami bentuk bentuk baru itu, orang harus menghubungkannya dengan asal mula masing masing agamanya. The Elementary Forms of the Religious Life merupakan pemikiran Durkheim tentang penelitian agama yang sangat cermat. Dalam buku ini Durkheim mencoba memahami fenomena agama tidak pada masyarakat yang kompleks, melainkan pada masyarakat sederhana, yaitu pada masyarakat Arunta, suku bangsa primitive di Australia Utara yang diketahui orang pada masa kini. Kenapa demikian?Agama primitive dipandang Durkheim merupakan agama dalam bentuk aslinya dan elementer.Studi mendalam tentang agama masyarakat primitive itu sendiri disebut oleh Durkheim sebagai totemisme Australia.

Menjelaskan fenomena agama Durkheim dalam penelitiannya bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis.Adalah keliru menurut Durkheim untuk mengira bahwa adanya supranatural itu diperlukan bagi eksistensi agama.
Durkheim membuat batasan agama sebagai:
“ Suatu system yang terpadu mengenai keyakinan, praktik yang berhubungan dengan benda benda benda suci, benda benda khusus atau terlarang. Keyakinan keyakinan dan praktik praktik yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang tunggal yang disebut dengan umat / gereja semua orang yang menganut kepercayaan dan praktek itu”.
Dari definisi ini ada dua unsur yang sangat penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat sakral" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Sifat sakral itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan yang radikal dari yang duniawi. Suatu agama tidak pernah sekedar merupakan suatu rangkaian kepercayaan: agama selalu melibatkan praktek tata cara keagamaan yang ditentukan dan suatu bentuk lembaga yang pasti. Tidak ada agama tidak punya pusat ibadah walaupun bentuknya sangat beraneka ragam.
Totemisme secara integral terkait dengan system organisasi suku, yang menjadi ciri khas dari masyarakat masyarakat Australia. Suatu ciri khas dari suku totem ialah bahwa nama yang menandai identitas kelompok suku ialah sesuatu yang berupa objek materiil- suatu totem- yang diyakini mempunyai kelebihan kelebihan yang sangat luar biasa. Tidak ada dua suku dalam satu marga mempunyai totem yang sama. Pengkajian dari sifat sifat totem yang diyakini dimiliki oleh totemnya, menunjukkan bahwa totem merupakan sumbu dari dikhotomi diantara yang kudus dan yang manusiawi. Totem adalah bentuk dasar dari hal hal yang kudus.3
Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri.Ketiga kelas objek ini pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu kosmologi.Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat.Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus.Jadi misalnya awan termasuk dalam golongan totem dan matahari dalam totem yang lain, keseluruhan alam dibawakan ke dalam suatu klasifikasi teratur berlandaskan organisasi suku totem, orang menyebutnya sebagai sahabat sahabatnya dan menganggapnya sebagai darah daging mereka juga. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya.
Sifat sakral ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya.Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama mengandung aspek universal mengarahkan orang orang untuk mengelompokkan segala sesuatu baik yang bersifat nyata maupun dalam bentuk gagasan kepada sesuatu yang bersifat suci / sacral dan yang bersifat duniawi / profane.
Keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda, bahkan ada yang bertentangan. Yang sacral / suci tidak hanya berhubungan dengan makhluk makhluk yang punya jiwa, seperti juga benda benda lain seperti batu, buah, pohon, dan sebagainya, termasuk upacara ritual keagamaan. Yang sacral berada tersendiri dan terlarang, lain lainnya bersifat profane / duniawi dikenal sebagai kehidupan keseharian.Oleh karena itu yang sacral dipandang lebih mempunyai keunggulan dibandingkan yang profane. Namun bukan berarti semua yang sacral memiliki kekuatan dan kehormatan yang sama. Diantara sesame yang sacral, dengan demikian terdapat derajat kekuatan dan kehormatan yang berbeda.
2)      Upacara Agama ( Ritual )
Totem merupakan simbul yang paling muda dikenali oleh suku kelompok, hal inilah mengapa agama mengambil suatu totem sebagai bentuk khasnya?  Ini disebabkan totem merupakan lambing dari suku: perasaan perasaan yang dibangkitkan oleh adanya kolektifitas yang menghubungkan diri dengan totem tersebut.
Sifat fundamental kedua dari agama yaitu praktek praktek upacara yang terdapat disemua agama.Adapun praktik praktik tentang keyakinan ( upacara ritual  keagamaan) merupakan suatu tindakan dari aturan aturan mengenai cara berfikir, cara merasakan dalam hubungannya dengan objek objek suci atau sebagai aturan aturan perilaku yang menggambarkan bagaimana manusia seharusnya berhadapan dengan benda benda. Jadi ritual ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif dalam masyarakat.
Praktek ritual ini ditentukan melalui dua jenis praktek ritual, yang terjalin dengan sangat erat yaitu, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang membatasi hubungan antara yang kudus dan duniawi. Larangan larangan macam ini meliputi antar antar hubungan lisan maupun antar antar hubungan perilaku dengan hal hal yang kudus, keramat. Menurut cara yang normal tidak ada sesuatupun dari alam duniawi yang boleh masuk ke dalam lingkungan yang kudus dalam bentuk yang tidak lekas berubah. Dengan demiokian pakian pakian keramat khusus dikenakan untuk kejadian kejadian upacara, dan semua pekerjaan sementara yang normal harus ditunda. Tata cara negative mempunyai satu aspek positif pribadi orang yang mentaatinya telah mensucikan diri dan dengan demikian telah mempersiapkan diri untuk masuk ke lingkungan yang kudus.
Serta praktek ritual upacara yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri, yang membuat masyarakat taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama, ideal ideal yang diungkapkan dalam kepercayaan kepercayaan merupakan ideal ideal moral dimana kesatuan masyarakat didirikan.Bilamana pribadi pribadi orang berkumpul dalam upacara upacara keagamaan maka dengan demikian mereka itu menekankan lagi keparcayaan mereka atas orde moral.
Masih ada jenis lain dari tata cara menyajikan korban kepada penebusan dosa( bersifat menebus dosa) dan dari kasus ini yang paling penting ialah kasus yang berwujud dalam upacara belasungkawa. Seperti halnya dengan perasaan keagamaan yang menyenangkan yang meningkat sampai tingkat demam dalam kegairahan kolektif yang ditimbulkan oleh upacara,demikian pula panic karena penyesalan dikembangkan dalam tata cara berkabung.Efek dari kejadian ini adalah tertariknya para anggota kelompok untuk berkumpul, yang solidaritasnya terancam oleh menghilangnya salah seorang anggota dari kelompok itu. Oleh karena mereka itu menangis bersama, maka mereka itu saling berpegangan dan kelompok tidak menjadi lemah, kendatipun kelompok itu telah terkena pukulan.
3)      Pengetahuan
Dalam totemisme prinsip yang bersifat ke Tuhanan lebih meresapi segala gala daripada dalam bentuk bentuk masyarakat yang lebih komplek, rumit: kita menemukan di dalam masyarakat masyarakat Australia, gagasan gagasan keagamaan yang seperti terjadi dimana mana, telah membentuk sumber asal dari pelbagai system gagasan yang kemudian mengikutinya. Klasifikasi alam menurut cara totemisme memberikan sumber permulaan dari kategori kategori logika atau kelas kelas, di dalam mana pengetetahuan diurutkan. Klasifikasi objek objek dan sifat sifat di alam, terbangun diatas pemisahan masyarakat masyarakat menjadi devisi devisi suku menurut totemisme.Kesatuan dari system system logika pertama hanya memproduksi kesatuan masyarakat. Hal ini tidak mempunyai implikasi, bahwa masyarakat membangun seluruhnya tanggapan daya memahami alam.
Menurut Durkheim klasifikasi yang bersifat elementer mempraduga adanya sedikit banyak kesadaran atas kemiripan dan perbedaan pancaindera. Arti penting dari alasan alasan Durkheim ialah bahwa perbedaan perbedaan asli ini tidak membentuk sumbu dari system pengklasifikasian, akan tetapi hanya merupakan suatu prinsip kedua untuk penata urutan.
Adanya kelas kelas logika melibatkan pembentukan dikhotomi yang betul betul jelas batas batasnya. Akan tetapi alam sendiri menampakkan kesinambungan dalam ruang dan waktu, dan informasi informasi yang kita catat dengan pancaindera, dari dunia, tidak terurut dalam cara yang tidak bersinambungan, akan tetapi terdiri atas bayangan bayangan yang tidak jelas dan selalu bergeser. Misalnya bilama matahari berada dalam satu kategori maka bulan dan bintang akan ditempatkan dalam kategori yang berlawanan, bila burung kakatua putih berada di satu kotegori, maka burung kakatua hitam ditaruh di kategori lain.
4)      Rasionalissasi, Etika dan Kultus Individu
Analisis ini bisa dikaitkan dengan teori campur baurnya agama dan moralitas yang bersifat primitive.Dimana dalam pemikiran keagamaan orang telah membayangkan diri sebagai dua makhluk berlainan, raga dan jiwa.Raga dikatakan berada di dunia materiil, jiwa di dalam lingkungan yang tidak kontinyu dari yang kudus. Suatu kepercayaan yang universal bukanlah suatu kebetulan dan sama sekali juga bukan khayalan, serta harus berada di atas sesuatu kegandaan, yang hakiki untuk kehidupan manusia di dalam masyarakat. Kegandaan itu bias ditelusuri sampai ke pembedaan antara perasaan di satu pihak dan di lain pihak. Perasaan dan kebutuhan kebutuhan rasa seperti lapar dan haus merupakan hal hal yang mau tidak mau harus egoistis, dalam arti bahwa perasaan dan kebutuhan rasa itu berkaitan dengan selera organisme pribadi seseorang dan tidak mempunyai implikasi yang berkaitan dengan orang lain.
Pikiran konseptual dan peraturan peraturan moral tidak ada kaitannya dengan individu manapun.Tiap orang memulai kehidupannya sebagai makhluk yang egoistis, yang hanya mengetahui perasaan, dimana kegiatan kegiatannya dikuasai oleh kebutuhan kebutuhan rasa. Tiap orang mempunyai sisi egoistis pada pribadinya, pada saat yang sama dia juga merupakan makhluk social. Tuntutan moral dari kehidupan dalam masyarakat tidak bias seluruhnya akur dengan kecenderungan kecenderungan egoistisnya, masyarakat tidak bias dibentuk atau dipertahankan keberadaannyatanpa kita diharuskan memberikan pengeorbanan dengan terus menerus dan berharga.
Di Tempat lain Durkheim menjelaskan hal tersebut diatas dengan analisis sejarah. Agama Kristen protestan merupakan sumber langsung dari mana berasal individualism moral modern. Etika Kristen menyediakan prinsip prinsip moral dimana kultus individu di dirikan, akan tetapi agama Kristen sekarang sedang muncul lambang lambang dan objek objek yang kudus dari jenis baru. Hal ini bias digambarkan dimana kebebasan dan akal budi diagung agungkan dan dimana ada kegairahan kegiatan kolektif yang tinggi yang dirangsang oleh upacara umum. Akan tetapi walaupun ini membantu lahirnya ideal ideal yang sekarang mewarnai kehidupan kita.Namun semangat kolektif dari zaman sekarang berlangsung hanya sebentar. Akibatnya adalah bahwa dunia modern berada dalam suatu kosong moral.6
Dunia modern makin lama makin terasuk oleh rasionalisme, yang disebut Durkheim aspek intelektual dari individualism moral.Satu akibat dari hal ini ialah tuntutan atas mutu moralitas rasional.Pendapat tentang nilai yang melebihi segala gala dari individu manusia dengan demikian merupaka produk dari masyarakat dan inilah yang secara pasti memisahkannya dari egoism. Kultus individu tidak didasari oleh egoism, akan tetapi oleh kelanjutan dari perasaan perasaan simpati yang sama sekali bertolak belakang bagi penderitaan manusia dan keadilan social.
Yang menjadi pusat dari tesis Durkheim ialah bahwa semua bentuk pengaturan moral tidak begitu saja bisa disejajarkan dalam arti yang abstrak dan universal dengan tidak ada pengaturan(anomi).Gagasan gagasan baik mengenai egoism maupun anomi harus dipahami dalam rangka konsepsi umum mengenai perkembangan masyarakat. Dilema masyarakat modern bukanlah harus diselesaikan dengan suatu pengembalian ke disiplin otokratik, yang terdapat pada masyarakat masyarakat tradisional, akan tetapi hanya dengan jalan konsolidasi moral dari pembagian kerja yang beraneka ragam dari masyarakat.
5. Bagaimana Pandangan Agama Menurut Max Weber Dalam Karyanya "The Protestan Etic And The Spirit Of Capitalism"!
Tesis terkenal Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism pada intinya membicarakan tentang etika dari suatu keyakinan religius dan semangat dari sebuah sistem ekonomi dan terbangunnya hubungan antara jiwa dengan keseimbangan neraca. Dalam konteks ini, kata “kapitalisme” atau “semangat kapitalisme”  digunakan dalam pengertian yang sangat partikular, yaitu mengenai struktur yang mengatur sikap masyarakat Barat, bukan hanya ekonominya, tetapi juga sistem hukumnya, struktur politik, ilmu dan teknologi yang terinstitusionalisasi dan seni.
Struktur yang mengatur masyarakat Barat Weber sebut sebagai rasionalitas. Rasionalitas ini merembes ke semua bidang perilaku sosial, organisasi buruh dan manajemen serta ilmu-ilmu kreatif, hukum dan ketertiban, filsafat dan seni, negara dan politik, dan bentuk-bentuk dominan kehidupan privat. Rasionalitas ini didorong oleh perlawanan terhadap fitrah manusia yang cenderung kepada pra-rasional dan magis. Akhirnya, dengan perlawanan ini, motif-motif dibalik perilaku manusia —imaji, pemujaan, magis dan tradisi- direformasi melalui jantung keyakinan agama.
Inilah yang dimaksud Reformasi oleh Weber, kesimpulan yang dengannya dihubungkan teori ekonomi dan doktrin agama, yang mana tesisnya dikembangkan dari pemahamannya tentang “Protestanisme”, khususnya dari “Calvinisme”. Protestan, dalam ragam Calvinisnya menganggap bahwa perilaku orang yang beriman sebagai individu tidak bisa dikenai sanksi oleh otoritas spriritual eksternal, tapi hanya dikenai sanksi-batin dari hati nuraninya sendiri. Perilaku kaum “Protestan” ini termanifestasikan dalam signifikansi religius kerja dalam sebuah panggilan (calling). Atau dengan kata lain, agama dipandang sebagai sebuah orientasi ideologis yang cenderung mengarahkan seseorang pada peran kerja/wirausaha, dimana kemudian mereka memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, calvinisme tidak mengakuii skema mengenai etika sosial. Dipengaruhi kenyataan bahwa "Tuhan telah memberikan janji-janji-Nya untuk kehidupan saat ini dan juga kehidupan yang akan datang," Calvinisme menolak pencampuradukan masalah-masalah yang berhubungan dengan negara dan dengan Tuhan.
Titik tolak Weber dalam mengemukakan tesisnya adalah sebuah survey statistik yang dilakukan pada 1900 oleh sosiolog Jerman Max Offenbacher, tentang “kondisi ekonomi umat Katolik dan Protestan” di Grand Duchy of Baden yang dari segi agama merupakan campuran (60 persen pemeluk Katolik). Offenbacher menemukan bahwa warga negara Protestan Grand Duchy memiliki persentase aset modal yang sangat besar dan menduduki jabatan-jabatan pimpinan, kualifikasi pendidikan, posisi akademis, dan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan. 
Dari survey Max Offebacher lah, Weber termotimativasi untuk melakukan penyelidikan tentang pengaruh etika religius kepada religius kerja dan semangat kapitalisme pada budaya-budaya dan agama-agama yang lain, seperti Cina dan kekhalifahan Arab.
Kritik atas The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism Weber
Telaah Weber dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, meski memiliki kontribusi bagi transformasi kapitalisme, namun sulit terealisasi, jika unsur asketis Calvinis yang ditonjolkan Weber tidak ada dalam suatu tradisi ataupun agama. Agama Budha, misalnya, membebaskan manusia dari “roda”, dari lingkaran abadi kematian dan kelahiran kembali, melalui kontemplasi dan penghancuran kehendak individu. Akibatnya ia merepresentasikan tipe asketisme yang secara diametral bertentangan dengan Calvinis. Begitu pula dengan konsep “Zakat” dan “Sedekah” dalam Islam, yang menjadi batas bagi kepemilikian individu, melalui distribusi harta kepada fakir dan miskin sebagai bentuk keadilan sosial secara diametral bertentangan dengan Calvinis.
Selain itu, Weber cenderung memperhatikan perbedaan sosio-ekonomi pada tesisnya pada pihak yang berlawanan pada hubungan antara kondisi sosial dan dogma. Kecenderungan ini dibawa sampai kepada tingkat pemahaman dimana perbedaan antara Timur dan Barat,  dibawah semua perbedaan iman, terutama merupakan masalah kelas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEKNOLOGI INDUSTRI HOLTIKULTURA KLIMATRIKS

TEKNOLOGI INDUSTRI HOLTIKULTURA KLIMATRIKS   JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA 2018