JURUSAN :
SOSIOLOGI
TUGAS UTS
SOSIOLOGI AGAMA
1.
Jelaskan Konsep Sosiologi Agama!
Sosiologi
agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai
fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip
umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
Sosiologi
agama adalah suatu cabang sosiologi yang mempelajari masyarakat agama secara
sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi
kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Sosiologi
agama secara khusus memfokuskan pada kajian masyaraka
t beragama, bukan kebenaran ajaran agamanya. Agama yang dimaksud dalam sosiologi adalah agama dalam perwujudan dan tindakan manusia. Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi ketuhanan (supranatural), maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut yang berbeda. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya, ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar-dasar haluan Negara, memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial, seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya.
t beragama, bukan kebenaran ajaran agamanya. Agama yang dimaksud dalam sosiologi adalah agama dalam perwujudan dan tindakan manusia. Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi ketuhanan (supranatural), maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut yang berbeda. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya, ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar-dasar haluan Negara, memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial, seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya.
Dalam teologi
agama selalu mengawali kajiannya mengenai kepercayaan kepda Tuhan, dan berusaha
melaksanakan berbagai ajaran dari keyakinan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara ahli sosiologi agama, mungkin menganut agama tertentu. Data yang
dikerjakannya mungkin diperoleh dari salah satu agama atau dari banyak agama,
dari agamanya sendiri atau dari agama yang sama sekali berbeda dengan agamanya.
Mungkin ia bekerja dalam lingkup yang sempit, penelitian sekte atau berusaha
mengembangkan teori tentang agama dan masyarakat, kemudian menemukan setiap
jenis dan corak gejala keagamaan yang dapat digunakan sesuai dengan
keinginannya Memahami makna yang diberikan oleh masyarakat tertentu pada sistem
agamanya sendiri. Meneliti hubungan agama denga struktur sosial, dan hubungan
agama dengan aspek budaya bukan agama, seperti magis, sains dan teknologi.
Sosiologi agama menyelami alam pikiran penganut agama yang dikajinya tanpa
harus mengidentifikasi dirinya dengan agama yang dikajinya.
Sebagai usaha
mengadakan suatu analisis yang memakai metode kajian ilmiah, sosiologi dituntut
untuk memakai pendekatan yang bersifat empirik. Para ilmuwan sosial sepakat
agar semua pernyataan yang diklaim sebagai kebenaran ilmiah tunduk pada
pengujian yang cermat dan didukung oleh fakta yang diperoleh melalui pengamatan
terhadap alam fisikal. Kebenaran itu dikatakan sahih dalam arti ilmiah, bukan
karena ia mempunyai alasan yang secara intuitif masuk akal (rasional). atau
karena disampaikan oleh satu atau sekelompok orang yang terhormat atau memiliki
otoritas (karisma dan berkuasa)Kebenaran dikatakan valid jika sesuai dengan
fakta-fakta yang {valid juga. ‘
Ahli
sosiologi agama dapat memilih berbagai metode dalam melaksanakan kajiannya
sehingga metode yang dipilihnya akan disesuaikan dengan prosedur, alat, dan
desain penelitian yang digunakan. Desain penelitian harus sesuai dengan metode
yang dipilih, begitu juga prosedur dan alat yang digunakan. Dalam penelitian
sosiologi agama, biasanya dipakai tiga bentuk metode penelitian; yaitu
deskriptif, komparatif dan eksperimental. Pilihan metode penelitian berhubungan
dengan desain penelitian yang dipergunakan oleh sosiolog. Oleh karena itu,
metode penelitian identik dengan desain penelitian karena penentuan metode yang
digunakan sangat dipengaruhi oleh desain dari peneliti yang bersangkutan.
Menurut Keith
A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah sebagai berikut :
1) Kelompok-kelompok dan lemabaga keagamaan,
yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya,
pemeliharaannya dan pembaharuannya
2) Perilaku individu dalam kelompok-kelompok
tersebut atau proses social yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku
ritual
3) Konflik antar kelompok, misalnya Katolik
lawan Protestan, Kristen dengan Islam dan sebagainya. Bagi sosiolog, kepercayaan
hanyalah salah satu bagian kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya.
2.
Bagaimana Pendapat Auguste Comte Tentang Agama?
Auguste Comte
(1798-1857) tercatat sebagai pencipta teori “tiga fase/tingkatan” dalam
memaknai kesadaran keagamaan atau perkembangan pemikiran manusia, yaitu: fase
teologis, metafisik, dan positif.7 Fase teologis (disebut juga fase fiktif)
merupakan fase pemikiran yang menganggap semua realitas diciptakan oleh zat
adikodrati atau kekuatan ghaib. Fase ini diibaratkan dengan perkembangan kesadaran
dan pemikiran anak-anak. Fase teologis ini dibagi kepada tiga tingkatan.
Pertama,
kepercayaan terhadap kekuatan jimat (fetishism). Di tingkat ini, manusia membayangkan
semua benda berada di luar dirinya dan dihidupkan oleh kekuatan adikotati yang
sama dengan kekuatan adikodrati yang menghidupkan dirinya, perbedaannya hanya
intensitasnya saja. Menurut Comte, tingkat kepercayaan terhadap jimat ini
berhubungan erat dengan tatanan kehidupan masyarakat nomaden yang perilakunya
lebih didasarkan atas mitos dan kepura-puraan daripada akal sehat. Kedua, fase
kepercayaan terhadap banyak tuhan (politheism) yang dihubungkannya dengan
kehidupan kota, sistem kasta, kepemilikan tanah, institusi sosial, dan perang
yang dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menciptakan kehidupan politik
yang langgeng dan progressif. Hal itu terjadi oleh karena perkembangan sistem
kehidupan masyarakat secara menetap. Ketiga, fase kepercayaan terhadap keesaan
Tuhan (monotheism), digunakan dengan modifikasi fase teologis dengan sistem
kemiliteran. Fase ini dianalogikan dengan organisasi militer dan organisasi
sosial keagamaan. Selanjutnya, fase metafisik merupakan fase lanjutan sebagai
dampak dari perubahan/perkembangan kesadaran dan pemikiran keagamaan selama
fase teologis. Fase metafisik mengasumsikan bahwa pikiran bukanlah ciptaan
adikodrati/khayali, akan tetapi ciptaan “kekuatan abstrak” atau entitas-entitas
nyata dari sesuatu yang benarbenar dianggap ada yang melekat di dalam diri
manusia dan mampu menciptakan semua fenomena yang menggantikan kekuatan ghaib.
Hukum abstrak menjadi alat penjelas suatu fenomena. Misalnya, hukum alam
(natural law) menjadi faktor penyebab mendasar dari alam semesta. Fase
metafisik ini biasanya diidentikkannya dengan organisasi demokratis-egalitarian,
layaknya fase perkembangan masa remaja. Akhirnya, fase positif, fase di mana
manusia tidak lagi mencari ide-ide absolut, asli, penentu takdir alam semesta,
dan penyebab fenomena, akan tetapi menelusuri hukum-hukum alam yang menentukan
fenomena dengan cara menemukan rangkaian hubungan yang tidak berubah-ubah di
alam semesta.Dalam fase ini, nalar (rasio) dan pengamatan (observasi) menjadi
alat utama dalam mengungkap hukum alam/sosial, namun pada saat yang sama
ketidakmampuan akal juga diakui tidak mampu mencapai kebenaran mutlak. Pada
fase positif ini, agama dan kemanusiaan muncul secara bersamaan, di mana
sosiolog menjadi tokoh agama dan membimbing manusia dalam kehidupannya secara
harmonis. Sosiolog mengajar manusia berpikir positif secara ilmiah dan
menghubungkan doktrin cinta, keteraturan, dan kemajuan dengan kehidupan
manusia. Manusia hidup bersama secara harmonis karena perilaku dan institusi
sosial yang mereka bentuk dipimpin oleh cara berpikir positif. Fase ini
dipersamakan dengan fase orang dewasa sejalan dengan meningkatnya pemahamannya
secara saintifik terhadap alam semesta.
3. Apa
Arti Agama Adalah Candu Yang Disampaikan Oleh Karl Marx, berikan contohnya!
Karl Marx mengatakan
bahwa ‘agama adalah candu masyarakat.’‘Die Religion … ist das Opium des Volkes’
awalnya tercantum pada pembukaan tulisan Marx: A Contribution to the Critique
of Hegel’s Philosophy of Right, yang ditulis oleh Marx pada tahun 1843 dan
terbit pada tahun 1844 di Paris dalam jurnal Deutsch–Französische Jahrbücher,
yang dieditori oleh Marx dan Moses Hess. Pernyataan tersebut kemudian melalui
beberapa proses penerjemahan dalam beberapa bahasa, dengan salah satunya yang
paling sering dikenal oleh khalayak adalah dalam bahasa Inggris yakni:
‘Religion is the opium of the people’, atau dalam bahasa Indonesia -kurang
lebih maknanya juga sedikit berubah- menjadi ‘Agama adalah candu masyarakat’.
Kalimat utuhnya jika diterjemahkan berbunyi, “ Kesukaran agama- agama pada saat
yang sama merupakan ekspresi dari kesukaran yang sebenarnya dan protes melawan
kesukarann yang sebnarnya. Agama adalah nafas lega makhluk tertindas, hatinya
dunia yang tidak punya hati, spirit kondisi yang tanpa spirit. Agama adalah
candu masyarakat” (Marx, 1843/1970).
Menurut Marx,
agama merupakan ide “Roh Absolut” yang merupakan suatu ilusi atau tipuan. Agama
juga merupakan ideologi yang paling ekstrem dan nyata yang pernah ada di
kehidupan manusia dan juga agama merupakan sistem kepercayaan yang merupakan
kontruksi penguasa untuk menciptakan tatanan yang sesuai dengan kemauannya.
Artinya agama merupakan suatu “Ide” yang sengaja diciptakan oleh manusia atau
penguasa untuk mengatur manusia lainnya demi terwujudnya tatanan sosial yang
diinginkan para penguasa.
Marx
mengatakan bahwa agama juga merupakan bentuk kerpecayaan atau pelampiasan
masyarakat yang “kalah” atau “menyerah” terhadap perjuangannya dalam membangun
pondasi kehidupan. Ada yang lebih penting menurut Marx ketimbang agama, yaitu
adalah pondasi kehidupan yang secara jelas terjadi pada masa itu. Pondasi
kehidupan itu merupakan titik tolak dari manusia untuk terus bisa menjalani
kehidupannya. Pondasi kehidupan itu adalah material dan ekonomi. Hal inilah
yang tidak didapatkan oleh manusia yang berpaling ke agama ketika mereka merasa
lelah dan menyerah dalam menjalankan kehidupannya di dunia untuk memenuhi
kebutuhannya, lalu mereka berpasrah kepada apa yang disebut “Tuhan”. Makan
secara jelas Marx mengatakan bahwa agama adalah sebuah ide yang merusak
tatanan-tatanan pemikiran manusia yang sebenarnya hal itu adalah milik manusia,
di mana agama pada saat itu mengatakan bahwa yang benar dan segala kebaikan itu
adalah milik penguasa/ roh yang absolut “Tuhan” yang ada di dalam agama itu
sendiri.
Sebenarnya
Marx ingin menyampaikan bahwasannya masalah kemiskinan atau pada saat itu yang
ia sebut dengan kaum “Proletar” timbul karena kapitalis yang berkembang pada
saat itu. Dengan munculnya kepemilikan secara hak pribadi. Hal ini menjadikan
kaum “borjuis” atau manusia-manusia yang memiliki modal menekan kaum proletar atau
buruh sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
mengeksploitasi kaum proletar. Bahkan proletar yang sadar akan hal itu malah
enggan untuk melakukan perubahan dan berpasarah diri kepada Tuhan dengan memuji
Tuhan mereka dan percaya bahwa hal ini akan di balas oleh Tuhan dengan seribu
kebaikan, dan hal ini merupakan takdir mereka. Tentunya hal ini menurut Marx
jelas adalah doktrinisasi dari agama, agar mereka tidak kembali kepada hakikat
mereka sendiri, yaitu materi.
Mengenai
sebuah pertanyaan yang telah dijawab oleh Feuerbach “Kenapa manusia tidak mau
memanfaatkan potensi-potensi yang ada di diri mereka dan mengabdikan seluruh
hidupnya untuk Tuhan?”. Feuerbach mengatakan bahwa hal itu sudah merupakan
takdir manusia untuk teralienasi. Namun Marx mengatakan bahwa hal itu
jelas-jelas di depan mata kita yaitu material dan ekonomi. Hal ini berarti,
ketikan manusia mengenyampingkan materi dan ekonomi dikarenakan mereka telah
terdoktrin dengan agama sehingga apa yang dimaksudkan dengan “mengeyampingkan”
adalah mereka yang telah kalah dalam berjuang, tertekan dalam pencapaian
kebutuhan ekonomi atau mereka adalah kaum-kaum terbawah yang terkesampingkan
pada tatanan sosial manusia, sehingga cara satu-satunya yang tepat untuk
mengatasi ini adalah dengan agama. Akhirnya manusia yang seharusnya
mengembangkan potensi-potensi mereka, harus dirusak oleh agama dengan
memberikan “kedamaian dan kenyamanan” di hati mereka. Hal inilah yang menurut
Karl Marx manusia tidak akan menjadi penggagas perubahan ketika mereka di tekan
oleh kaum-kaum penguasa.
Awalnya Marx
hanya mengkritik manusia-manusia yang menjalankan agama tersebut (proletar),
berdasarkan kejadian yang ia lihat pada ayahnya. Hal itu jelas merupakan
pemanfaatan agama yang dilakukan oleh penguasa. Namun, setelah Marx mulai
gencar dalam menuliskan pandangannya terhadap agama, maka saat itu Marx secara
terang-terangan mengkritik isi atau teks-teks yang ada dalam agama tersebut.
4.
Bagaimana Pendapat Emile Durkheim Tentang Agama
Dalam tulisan
tulisannya yang paling dini, Durkheim
mengulas arti penting dari agama dalam masyarakat dan mengenalnya
sebagai sumber orisinil dari semua gagasasan moral, filsafat, ilmu pengetahuan
dan keadilan. Dasar utama yang mendasari teori yang disajikan dalam The Elementary
Forms of the Religious Life bersifat
fungsional yaitu berkaitan dengan peran fungsi agama dalam masyarakat.
Durkheim
menekankan bahwa tidak ada perpecahan mutlak antara solidaritas mekanis dan
soliditas organis. Solidaritas organis mempraduga adanya pengaturan moral yang
sama banyaknya dengan yang dipraduga oleh jenis solidaritas mekanis walaupun
pengaturan itu bukanlah dalam bentuk tradisional.
1) Sifat Dari Yang Kudus
Buku The
Elementary Forms of the Religious Life harus dibaca secara genetic, dalam
kaitannya dengan rentetan perubahan perubahan menonjol yang telah membuat
masyarakat modern sangat berbeda dari sebelumnya. Arti penting dari pengertian
Durkheim mengenai penelitian agama bahwa
adanya kesinambungan antara bentuk bentuk masyarakat tradisional dan masyarakat
modern, agar bisa memahami bentuk bentuk baru itu, orang harus menghubungkannya
dengan asal mula masing masing agamanya. The Elementary Forms of the Religious
Life merupakan pemikiran Durkheim tentang penelitian agama yang sangat cermat.
Dalam buku ini Durkheim mencoba memahami fenomena agama tidak pada masyarakat
yang kompleks, melainkan pada masyarakat sederhana, yaitu pada masyarakat
Arunta, suku bangsa primitive di Australia Utara yang diketahui orang pada masa
kini. Kenapa demikian?Agama primitive dipandang Durkheim merupakan agama dalam
bentuk aslinya dan elementer.Studi mendalam tentang agama masyarakat primitive
itu sendiri disebut oleh Durkheim sebagai totemisme Australia.
Menjelaskan
fenomena agama Durkheim dalam penelitiannya bukanlah dalam artian yang
teologis, melainkan sosiologis.Adalah keliru menurut Durkheim untuk mengira
bahwa adanya supranatural itu diperlukan bagi eksistensi agama.
Durkheim
membuat batasan agama sebagai:
“ Suatu
system yang terpadu mengenai keyakinan, praktik yang berhubungan dengan benda
benda benda suci, benda benda khusus atau terlarang. Keyakinan keyakinan dan
praktik praktik yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang tunggal yang
disebut dengan umat / gereja semua orang yang menganut kepercayaan dan praktek
itu”.
Dari definisi
ini ada dua unsur yang sangat penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat
disebut agama, yaitu "sifat sakral" dari agama dan
"praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak dapat melepaskan
kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu
unsur tersebut terlepas. Sifat sakral itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang
dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan,
yang memaksakan pemisahan yang radikal dari yang duniawi. Suatu agama tidak
pernah sekedar merupakan suatu rangkaian kepercayaan: agama selalu melibatkan
praktek tata cara keagamaan yang ditentukan dan suatu bentuk lembaga yang
pasti. Tidak ada agama tidak punya pusat ibadah walaupun bentuknya sangat beraneka
ragam.
Totemisme
secara integral terkait dengan system organisasi suku, yang menjadi ciri khas
dari masyarakat masyarakat Australia. Suatu ciri khas dari suku totem ialah
bahwa nama yang menandai identitas kelompok suku ialah sesuatu yang berupa objek
materiil- suatu totem- yang diyakini mempunyai kelebihan kelebihan yang sangat
luar biasa. Tidak ada dua suku dalam satu marga mempunyai totem yang sama.
Pengkajian dari sifat sifat totem yang diyakini dimiliki oleh totemnya,
menunjukkan bahwa totem merupakan sumbu dari dikhotomi diantara yang kudus dan
yang manusiawi. Totem adalah bentuk dasar dari hal hal yang kudus.3
Di dalam
totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan
para anggota suku itu sendiri.Ketiga kelas objek ini pada hakekatnya merupakan
bagian dari suatu kosmologi.Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada
di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu,
sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat.Karena itu
semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus.Jadi
misalnya awan termasuk dalam golongan totem dan matahari dalam totem yang lain,
keseluruhan alam dibawakan ke dalam suatu klasifikasi teratur berlandaskan
organisasi suku totem, orang menyebutnya sebagai sahabat sahabatnya dan
menganggapnya sebagai darah daging mereka juga. Pada totemisme Australia ini
tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan
kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas
terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya.
Sifat sakral
ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya.Di
sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama mengandung aspek
universal mengarahkan orang orang untuk mengelompokkan segala sesuatu baik yang
bersifat nyata maupun dalam bentuk gagasan kepada sesuatu yang bersifat suci /
sacral dan yang bersifat duniawi / profane.
Keduanya
mempunyai karakteristik yang berbeda, bahkan ada yang bertentangan. Yang sacral
/ suci tidak hanya berhubungan dengan makhluk makhluk yang punya jiwa, seperti
juga benda benda lain seperti batu, buah, pohon, dan sebagainya, termasuk
upacara ritual keagamaan. Yang sacral berada tersendiri dan terlarang, lain
lainnya bersifat profane / duniawi dikenal sebagai kehidupan keseharian.Oleh
karena itu yang sacral dipandang lebih mempunyai keunggulan dibandingkan yang
profane. Namun bukan berarti semua yang sacral memiliki kekuatan dan kehormatan
yang sama. Diantara sesame yang sacral, dengan demikian terdapat derajat
kekuatan dan kehormatan yang berbeda.
2) Upacara Agama ( Ritual )
Totem
merupakan simbul yang paling muda dikenali oleh suku kelompok, hal inilah
mengapa agama mengambil suatu totem sebagai bentuk khasnya? Ini disebabkan totem merupakan lambing dari
suku: perasaan perasaan yang dibangkitkan oleh adanya kolektifitas yang
menghubungkan diri dengan totem tersebut.
Sifat
fundamental kedua dari agama yaitu praktek praktek upacara yang terdapat
disemua agama.Adapun praktik praktik tentang keyakinan ( upacara ritual keagamaan) merupakan suatu tindakan dari
aturan aturan mengenai cara berfikir, cara merasakan dalam hubungannya dengan
objek objek suci atau sebagai aturan aturan perilaku yang menggambarkan
bagaimana manusia seharusnya berhadapan dengan benda benda. Jadi ritual ritual
keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran
kolektif dalam masyarakat.
Praktek
ritual ini ditentukan melalui dua jenis praktek ritual, yang terjalin dengan
sangat erat yaitu, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk
pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang membatasi hubungan antara yang
kudus dan duniawi. Larangan larangan macam ini meliputi antar antar hubungan
lisan maupun antar antar hubungan perilaku dengan hal hal yang kudus, keramat.
Menurut cara yang normal tidak ada sesuatupun dari alam duniawi yang boleh
masuk ke dalam lingkungan yang kudus dalam bentuk yang tidak lekas berubah.
Dengan demiokian pakian pakian keramat khusus dikenakan untuk kejadian kejadian
upacara, dan semua pekerjaan sementara yang normal harus ditunda. Tata cara
negative mempunyai satu aspek positif pribadi orang yang mentaatinya telah
mensucikan diri dan dengan demikian telah mempersiapkan diri untuk masuk ke
lingkungan yang kudus.
Serta praktek
ritual upacara yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara
keagamaan itu sendiri, yang membuat masyarakat taat kepada kepercayaan dan
pendapat bersama, ideal ideal yang diungkapkan dalam kepercayaan kepercayaan
merupakan ideal ideal moral dimana kesatuan masyarakat didirikan.Bilamana
pribadi pribadi orang berkumpul dalam upacara upacara keagamaan maka dengan
demikian mereka itu menekankan lagi keparcayaan mereka atas orde moral.
Masih ada
jenis lain dari tata cara menyajikan korban kepada penebusan dosa( bersifat
menebus dosa) dan dari kasus ini yang paling penting ialah kasus yang berwujud
dalam upacara belasungkawa. Seperti halnya dengan perasaan keagamaan yang
menyenangkan yang meningkat sampai tingkat demam dalam kegairahan kolektif yang
ditimbulkan oleh upacara,demikian pula panic karena penyesalan dikembangkan
dalam tata cara berkabung.Efek dari kejadian ini adalah tertariknya para
anggota kelompok untuk berkumpul, yang solidaritasnya terancam oleh
menghilangnya salah seorang anggota dari kelompok itu. Oleh karena mereka itu
menangis bersama, maka mereka itu saling berpegangan dan kelompok tidak menjadi
lemah, kendatipun kelompok itu telah terkena pukulan.
3) Pengetahuan
Dalam
totemisme prinsip yang bersifat ke Tuhanan lebih meresapi segala gala daripada
dalam bentuk bentuk masyarakat yang lebih komplek, rumit: kita menemukan di
dalam masyarakat masyarakat Australia, gagasan gagasan keagamaan yang seperti
terjadi dimana mana, telah membentuk sumber asal dari pelbagai system gagasan
yang kemudian mengikutinya. Klasifikasi alam menurut cara totemisme memberikan
sumber permulaan dari kategori kategori logika atau kelas kelas, di dalam mana
pengetetahuan diurutkan. Klasifikasi objek objek dan sifat sifat di alam,
terbangun diatas pemisahan masyarakat masyarakat menjadi devisi devisi suku
menurut totemisme.Kesatuan dari system system logika pertama hanya memproduksi
kesatuan masyarakat. Hal ini tidak mempunyai implikasi, bahwa masyarakat
membangun seluruhnya tanggapan daya memahami alam.
Menurut
Durkheim klasifikasi yang bersifat elementer mempraduga adanya sedikit banyak
kesadaran atas kemiripan dan perbedaan pancaindera. Arti penting dari alasan
alasan Durkheim ialah bahwa perbedaan perbedaan asli ini tidak membentuk sumbu
dari system pengklasifikasian, akan tetapi hanya merupakan suatu prinsip kedua
untuk penata urutan.
Adanya kelas
kelas logika melibatkan pembentukan dikhotomi yang betul betul jelas batas
batasnya. Akan tetapi alam sendiri menampakkan kesinambungan dalam ruang dan
waktu, dan informasi informasi yang kita catat dengan pancaindera, dari dunia,
tidak terurut dalam cara yang tidak bersinambungan, akan tetapi terdiri atas
bayangan bayangan yang tidak jelas dan selalu bergeser. Misalnya bilama
matahari berada dalam satu kategori maka bulan dan bintang akan ditempatkan
dalam kategori yang berlawanan, bila burung kakatua putih berada di satu
kotegori, maka burung kakatua hitam ditaruh di kategori lain.
4) Rasionalissasi, Etika dan Kultus Individu
Analisis ini bisa
dikaitkan dengan teori campur baurnya agama dan moralitas yang bersifat
primitive.Dimana dalam pemikiran keagamaan orang telah membayangkan diri
sebagai dua makhluk berlainan, raga dan jiwa.Raga dikatakan berada di dunia
materiil, jiwa di dalam lingkungan yang tidak kontinyu dari yang kudus. Suatu
kepercayaan yang universal bukanlah suatu kebetulan dan sama sekali juga bukan
khayalan, serta harus berada di atas sesuatu kegandaan, yang hakiki untuk
kehidupan manusia di dalam masyarakat. Kegandaan itu bias ditelusuri sampai ke
pembedaan antara perasaan di satu pihak dan di lain pihak. Perasaan dan
kebutuhan kebutuhan rasa seperti lapar dan haus merupakan hal hal yang mau
tidak mau harus egoistis, dalam arti bahwa perasaan dan kebutuhan rasa itu
berkaitan dengan selera organisme pribadi seseorang dan tidak mempunyai
implikasi yang berkaitan dengan orang lain.
Pikiran
konseptual dan peraturan peraturan moral tidak ada kaitannya dengan individu
manapun.Tiap orang memulai kehidupannya sebagai makhluk yang egoistis, yang
hanya mengetahui perasaan, dimana kegiatan kegiatannya dikuasai oleh kebutuhan
kebutuhan rasa. Tiap orang mempunyai sisi egoistis pada pribadinya, pada saat
yang sama dia juga merupakan makhluk social. Tuntutan moral dari kehidupan
dalam masyarakat tidak bias seluruhnya akur dengan kecenderungan kecenderungan
egoistisnya, masyarakat tidak bias dibentuk atau dipertahankan
keberadaannyatanpa kita diharuskan memberikan pengeorbanan dengan terus menerus
dan berharga.
Di Tempat
lain Durkheim menjelaskan hal tersebut diatas dengan analisis sejarah. Agama
Kristen protestan merupakan sumber langsung dari mana berasal individualism
moral modern. Etika Kristen menyediakan prinsip prinsip moral dimana kultus
individu di dirikan, akan tetapi agama Kristen sekarang sedang muncul lambang
lambang dan objek objek yang kudus dari jenis baru. Hal ini bias digambarkan
dimana kebebasan dan akal budi diagung agungkan dan dimana ada kegairahan
kegiatan kolektif yang tinggi yang dirangsang oleh upacara umum. Akan tetapi walaupun
ini membantu lahirnya ideal ideal yang sekarang mewarnai kehidupan kita.Namun
semangat kolektif dari zaman sekarang berlangsung hanya sebentar. Akibatnya
adalah bahwa dunia modern berada dalam suatu kosong moral.6
Dunia modern
makin lama makin terasuk oleh rasionalisme, yang disebut Durkheim aspek
intelektual dari individualism moral.Satu akibat dari hal ini ialah tuntutan
atas mutu moralitas rasional.Pendapat tentang nilai yang melebihi segala gala
dari individu manusia dengan demikian merupaka produk dari masyarakat dan
inilah yang secara pasti memisahkannya dari egoism. Kultus individu tidak
didasari oleh egoism, akan tetapi oleh kelanjutan dari perasaan perasaan
simpati yang sama sekali bertolak belakang bagi penderitaan manusia dan
keadilan social.
Yang menjadi
pusat dari tesis Durkheim ialah bahwa semua bentuk pengaturan moral tidak
begitu saja bisa disejajarkan dalam arti yang abstrak dan universal dengan
tidak ada pengaturan(anomi).Gagasan gagasan baik mengenai egoism maupun anomi
harus dipahami dalam rangka konsepsi umum mengenai perkembangan masyarakat.
Dilema masyarakat modern bukanlah harus diselesaikan dengan suatu pengembalian
ke disiplin otokratik, yang terdapat pada masyarakat masyarakat tradisional,
akan tetapi hanya dengan jalan konsolidasi moral dari pembagian kerja yang
beraneka ragam dari masyarakat.
5.
Bagaimana Pandangan Agama Menurut Max Weber Dalam Karyanya "The Protestan
Etic And The Spirit Of Capitalism"!
Tesis terkenal Max Weber, The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism pada intinya membicarakan
tentang etika dari suatu keyakinan religius dan semangat dari sebuah sistem
ekonomi dan terbangunnya hubungan antara jiwa dengan keseimbangan neraca. Dalam
konteks ini, kata “kapitalisme” atau “semangat kapitalisme” digunakan dalam pengertian yang sangat
partikular, yaitu mengenai struktur yang mengatur sikap masyarakat Barat, bukan
hanya ekonominya, tetapi juga sistem hukumnya, struktur politik, ilmu dan
teknologi yang terinstitusionalisasi dan seni.
Struktur yang mengatur masyarakat Barat Weber sebut sebagai
rasionalitas. Rasionalitas ini merembes ke semua bidang perilaku sosial,
organisasi buruh dan manajemen serta ilmu-ilmu kreatif, hukum dan ketertiban,
filsafat dan seni, negara dan politik, dan bentuk-bentuk dominan kehidupan
privat. Rasionalitas ini didorong oleh perlawanan terhadap fitrah manusia yang
cenderung kepada pra-rasional dan magis. Akhirnya, dengan perlawanan ini,
motif-motif dibalik perilaku manusia —imaji, pemujaan, magis dan tradisi-
direformasi melalui jantung keyakinan agama.
Inilah yang dimaksud Reformasi oleh Weber, kesimpulan yang
dengannya dihubungkan teori ekonomi dan doktrin agama, yang mana tesisnya
dikembangkan dari pemahamannya tentang “Protestanisme”, khususnya dari
“Calvinisme”. Protestan, dalam ragam Calvinisnya menganggap bahwa perilaku
orang yang beriman sebagai individu tidak bisa dikenai sanksi oleh otoritas
spriritual eksternal, tapi hanya dikenai sanksi-batin dari hati nuraninya
sendiri. Perilaku kaum “Protestan” ini termanifestasikan dalam signifikansi
religius kerja dalam sebuah panggilan (calling).
Atau dengan kata lain, agama dipandang sebagai sebuah orientasi ideologis yang
cenderung mengarahkan seseorang pada peran kerja/wirausaha, dimana kemudian
mereka memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, calvinisme tidak mengakuii skema mengenai
etika sosial. Dipengaruhi kenyataan bahwa "Tuhan telah memberikan
janji-janji-Nya untuk kehidupan saat ini dan juga kehidupan yang akan
datang," Calvinisme menolak pencampuradukan masalah-masalah yang
berhubungan dengan negara dan dengan Tuhan.
Titik tolak Weber dalam mengemukakan tesisnya adalah sebuah
survey statistik yang dilakukan pada 1900 oleh sosiolog Jerman Max Offenbacher,
tentang “kondisi ekonomi umat Katolik dan Protestan” di Grand Duchy of Baden
yang dari segi agama merupakan campuran (60 persen pemeluk Katolik).
Offenbacher menemukan bahwa warga negara Protestan Grand Duchy memiliki
persentase aset modal yang sangat besar dan menduduki jabatan-jabatan pimpinan,
kualifikasi pendidikan, posisi akademis, dan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut
keterampilan.
Dari survey Max Offebacher lah, Weber termotimativasi untuk
melakukan penyelidikan tentang pengaruh etika religius kepada religius kerja
dan semangat kapitalisme pada budaya-budaya dan agama-agama yang lain, seperti
Cina dan kekhalifahan Arab.
Kritik atas The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism Weber
Telaah Weber dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme,
meski memiliki kontribusi bagi transformasi kapitalisme, namun sulit
terealisasi, jika unsur asketis Calvinis yang ditonjolkan Weber tidak ada dalam
suatu tradisi ataupun agama. Agama Budha, misalnya, membebaskan manusia dari
“roda”, dari lingkaran abadi kematian dan kelahiran kembali, melalui
kontemplasi dan penghancuran kehendak individu. Akibatnya ia merepresentasikan
tipe asketisme yang secara diametral bertentangan dengan Calvinis. Begitu pula
dengan konsep “Zakat” dan “Sedekah” dalam Islam, yang menjadi batas bagi
kepemilikian individu, melalui distribusi harta kepada fakir dan miskin sebagai
bentuk keadilan sosial secara diametral bertentangan dengan Calvinis.
Selain itu, Weber cenderung memperhatikan perbedaan
sosio-ekonomi pada tesisnya pada pihak yang berlawanan pada hubungan antara
kondisi sosial dan dogma. Kecenderungan ini dibawa sampai kepada tingkat
pemahaman dimana perbedaan antara Timur dan Barat, dibawah semua perbedaan iman, terutama
merupakan masalah kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar